“Aku hamil.”, ujarnya pelan.
Airmatanya mengalir deras. “Maafkan aku... Aku nggak
bermaksud merusak hubunganmu dengan Andro. Aku memang jahat, aku nggak
pantes jadi sahabatmu... Maafkan aku... Maaf...”
Plak!! Aku menampar pipinya. Rena diam sambil memegangi
pipinya yang kemerahan.
Lagi-lagi aku dikhianati. Kali ini kekasihku menghamili
sahabatku.
“Apa Andro mau bertanggung jawab?”, tanyaku sambil menahan
airmataku yang hampir menetes.
Rena menggeleng pelan. “Dia ingin menggugurkan anak ini...”
Rena menangis. “Kalau kamu juga memintaku untuk menggugurkan anak ini... Aku akan
menggugurkannya...”
Plak!! Aku menamparnya lagi. “Bodoh!!” Airmataku menetes.
“Jangan pernah gugurkan anak itu! Kamu harus melahirkannya! Lupakan Andro!!
Mulai sekarang kita mulai hidup baru tanpa si brengsek itu!”
Rena mengangkat wajahnya. “Kamu... serius?”
Aku mengangguk. “Aku akan menolongmu...”
Sore itu, untuk pertama dan terakhir kalinya, aku dan Rena menangis karena disakiti oleh laki-laki yang sama.
Sore itu, untuk pertama dan terakhir kalinya, aku dan Rena menangis karena disakiti oleh laki-laki yang sama.
Rena memelukku. “Maafkan aku... Maaf karena mengecewakan dan mengkhianatimu.”
Aku lelah dengan cinta dan kepalsuannya. Cinta memang hal
yang tak mungkin bagiku.
“Terima kasih, Rendy. Kamu memang sahabatku yang paling baik.”,
kata Rena lirih dalam pelukanku.
-ultrautogia-
No comments:
Post a Comment