Wednesday, December 04, 2013

Take Me All The Way


Eye to eye. Skin to skin.
He could see through my blue eyes. He could touch my fair skin.
Ear to ear. Lips to lips.
He could listen to my soft voice. He could kiss my smooth lips.
"I wanna be with you forever." I said to him.
"Me too." He answered me.
"But we can't." My voice triggered.
He stayed silent.
"I must go. You know, I can't stay here forever." I said to him as I stroke his hair.
"Then, take me with you..."
"No, you can't go back if you go with me..."
"Well, that's okay. I don't wanna go back as long as I'm with you. Take me all the way."
I smirked. "Are you sure? Then, close your eyes."
He closed his eyes for few seconds, the moment he opened his eyes, he's really with me.
"Now, you're with me. In my world. In the mirror. In the world of shadows." I said as I embraced him. " We can love each other forever."


-ultrautogia- 
#FF2in1

Tuesday, December 03, 2013

Goodbye... You...


Goodbye...
You...

You are the wind that flowing.
You are the wind that blowing.
You are the breeze in the morning.
And I am falling.

You flow in uncertainty.
You blow in mortality.
You fly in vanity.
And I sink into your gravity.

You roll and turn around.
You go upside down.
You get your own throne.
And I'm being thrown.

You rise and shine.
Ring the bell of win.
Leaving me behind.
Without a glance or a blink.

Goodbye...
You...


by: ultrautogia 
Move on ! 
Goodbye to you ! 

Wednesday, November 20, 2013

Hello Again !

Hello again ! 

I miss my blog so much ! 

Recently, I couldn't post anything and even access my blog... I just didn't know why... 
Until yesterday, my internet connection was so bad and yuck (well, actually, the internet connection didn't work at all !). Terrible !! 
I was so angry and annoyed. Then, my friend suggested me to call the provider and complain about it. So, I called the provider and complained about it. 
Okay, after a long process of dialing some numbers, I could connect to the technician (or whatever you call him). I told him what the problems and he asked me to wait. Well, after some moments he asked whether my internet connection had worked or not. Alas, it didn't work yet ! Then, he asked me to do some procedures on my internet connection setting in my laptop. Yeah, it was a long long long way to do. 
And.... Voila ! My internet connection came back to normal ! 
Well, that's not surprising actually... But, it made me happy because some days ago I couldn't access some sites like blogspot, tumblr, wordpress, and other sites. Everytime I wanted to access them, I must had been redirected to adfly and google and I really couldn't access the sites I wanted to visit. That's so weird. I could only access  certain sites like twitter, facebook, soundcloud, and youtube. Even then, sometimes the connection redirected me to google or adfly. So, it was like a flicker connection. At a certain time I could access it, but some time, I couldn't. 
That's why, I was so annoyed with my internet connection and too lazy to use the internet connection. My anger was at its peak when the internet connection couldn't connect at all yesterday. But, that was also a fortunate event, I mean, if the internet connection didn't go wrong like yesterday, I might not complain, I might not get my internet connection back to normal, I might not be able to access this blog. 

Oh well, yeah, what I wanna say is... 

Sometimes, bad things happen to us because it is the way to make everything else get better. 

This is only a simple thing I wanna share. 

The most annoying thing that happen in my life can be solved and make everything else beyond it get better. 

This is only about the story of internet connection, the sites, and me. 

Overall, I just want to write in this blog. 

I really miss writing here. 

~^.^~


-ultrautogia-

Friday, October 25, 2013

Almost Lost You



My heart skipped a beat. 

My breath was almost taken away. 
I almost lost you, my blog. 
Don't ever leave me... I love you my blog. 

That was a very shocking hot day, I wanted to log in to my blog, but I couldn't. I searched my blog on google, I opened my blog site, but it always showed 'ERROR'. 

OH MY GOD ! What happened?!! I almost cried a river... 

And so, I moved so fast to save my lovely blog. 

Thank God ! I still managed to save you, my blog. 

I love you. Please just stay with me. Always with me. Don't go away. 

:)



-ultrautogia- 

Wednesday, September 25, 2013

Bernafas Untuknya.

Aku melihat bayanganku di dalam cermin.
Sama.
Aku melihat bayangannya di dalam cermin.
Sama.
Aku menarik nafasku dalam-dalam. Berat. Terasa sangat berat.
Kabut tebal tampak menggantung di udara malam ini. Dingin. Aku merasa sangat kedinginan.
Semua terasa membeku.
Dia menggenggam tanganku. Kulit yang lembut itu menyentuh kulitku. Dingin. Aku masih saja merasa kedinginan.
Perasaanku terasa membeku.
Aku memeluk tubuhnya dan dia mendekapku dalam dadanya. Aku mendengar detak jantungnya yang stabil.
Namun, aku masih merasa dingin dan membeku.
Kita masih sama. Kita tidak berubah.
Tapi, jauh di dalam sana, sesuatu sudah berubah di antara kita.
"Jadi, kita harus mengakhirinya hari ini?", bisikku pelan.
"...Iya...", jawabannya terdengar berat dan tertahan.
"Benar-benar mengakhirinya?", tanyaku lagi.
"Maaf, aku harus melakukan ini demi keluargaku... Hanya dengan menikahi perempuan itu maka keluargaku akan..."
"Aku tahu... Menikahlah dengannya.", kataku sambil melepas pelukannya.
Dia masih menggenggam tanganku. Tatapan matanya yang dalam masih sama. Namun, perasaannya sudah jadi dingin.
"Aku tidak akan mengganggu hidupmu lagi.", ujarku sebelum dia pergi meninggalkanku.
Ya, aku tidak akan mengganggumu lagi, tidak akan mencarimu lagi, tidak akan mengharapkanmu lagi.
Aku tidak akan lagi bernafas untukmu.
Aku hanya akan bernafas untuknya.
Untuk bayimu yang sekarang bernafas di dalam kandunganku.



-ultrautogia- 
FF2in1

Wednesday, September 04, 2013

Cinta Tak Kasat Mata



Dia adalah mahkluk paling sempurna yang pernah ada dalam hidupku. Kecantikannya tidak tertandingi apapun yang ada di dunia ini. Matanya yang bulat, hidungnya yang mungil, bibirnya yang merah merekah, rambutnya yang panjang tergerai, dan tubuhnya yang tinggi dan langsing. Dia adalah kesempurnaan yang diciptakan Tuhan hanya untukku. Itulah gambaran tentang dirinya di mataku. Aku tidak pernah membayangkan bahwa aku akan bertemu dengannya hari itu. Saat aku merasa duniaku sudah hampir saja hancur karena sebuah kecelakaan mobil. 
Dia datang menghampiriku dan mewarnai hidupku lagi. 
Dia menerimaku apa adanya meskipun aku bukan lagi manusia sempurna. 
Dia melengkapi hidupku dan membuatku kembali merasa sempurna. 
Dia membuatku mengenal arti cinta yang sebenarnya. 
Dia membawaku untuk percaya pada cinta yang tak dapat dilihat secara kasat mata. 
Dia mengajariku untuk percaya walau tanpa melihat. 
Ya, mata kami berdua buta. 


-ultrautogia-
#FF2in1

Americano Bukan Caramel Macchiato


Lonceng pintu kafe bergemerincing saat seseorang memasuki kafe ini. Sosok lelaki itu berjalan menuju meja pemesanan. Mataku tidak berhenti menatapnya. Ya, dialah alasanku selalu datang ke kafe ini. Lelaki itu berjalan menuju meja yang ada di seberangku dan duduk menghadapku. Aku tidak berani menatap wajahnya. Aku melihat ke dalam cangkirku yang berisi kopi Americano. Aku menyesap Americano-ku, seketika rasa pahit menjalari indera perasaku dan mengalir masuk ke dalam tubuhku. Aroma dan rasa yang kuat Americano ini tiba-tiba saja menguasaiku dan membuatku selalu ingin merasakannya lagi dan lagi. Sama seperti dirinya yang tiba-tiba saja datang ke kafe kecil ini dan membuatku ingin selalu bertemu dengannya lagi dan lagi. Namun, aku bukanlah Americano yang memiliki aroma dan rasa yang kuat. Aku tidak memiliki keberanian yang kuat untuk sekedar menyapa atau menanyakan namanya. 
"Silahkan pesanan anda, Hot Caramel Macchiato.", kata pelayan saat mengantar pesanan kepadanya. 
Dia selalu memesan kopi yang sama, Caramel Macchiato
Setelah satu jam duduk di hadapanku, lelaki itu beranjak dari mejanya dan berjalan keluar kafe. Aku melihatnya berjalan semakin menjauh. 
"Hey, Caramel Macchiato... Seandainya kau tahu perasaanku, seandainya kau merasakan hal yang sama denganku... Aku harap kau merasakan hal yang sama denganku...", gumamku pelan. "Aku suka Americano, bukan Caramel Macchiato..." 

-ultrautogia-
#FF2in1

Tuesday, August 13, 2013

Biarkan Mata yang Berbicara.



Aku menangkapnya dengan mataku. Dalam diam, mataku terus berbicara dengannya. Memancarkan sejuta kekagumanku padanya.
Dia menangkapku dengan matanya. Satu kali, dua kali, tiga kali. Satu detik, dua detik, tiga detik. Setiap kali. Setiap detik.
Setiap kata yang aku ucapkan melalui mataku, entah dia dapat mendengarnya atau tidak, aku ingin dia menangkap mata ini, aku ingin terus menangkap matanya. Aku ingin berbicara dengannya melalui mataku.
Aku tidak mengerti setiap kata yang dia ucapkan melalui matanya. Namun, aku ingin dia melihat mataku dan membaca setiap kata yang tertulis di dalam mataku.
Bibir kami diam. Tapi, mata kami saling berbicara. Tatapan mata yang sekilas ada, sekilas hilang, sekilas datang, dan sekilas pergi seperti sebuah bahasa sederhana yang tercipta dalam sebuah keheningan.
“Hei,” Aku mencoba menyapanya dengan mataku.
“Hei,” Sayup-sayup terdengar suara balasan.
Dalam sebuah tatapan sekilas dan kedipan perlahan… dia membalas sapaanku.
Di sudut bibirnya terkembang sebuah senyum tipis. Aku membalas dengan tatapan dalam dan lama padanya.
Sejak saat itu, aku terperangkap dalam matanya dan dia terperangkap dalam mataku.
Mata kami tidak hanya bisa melihat, tapi juga bisa berbicara, membaca, mendengar, memikirkan, dan merasakan semua hal yang kami alami satu sama lain.
Kami menjadi satu dalam dua buah pasang mata.


-ultrautogia-


Saturday, July 27, 2013

Sebuah Penantian



Aku berlari. Setiap pagi. Di jalan yang sama. Mencari dan menunggu. Tapi, dia tak kunjung tiba. Aku masih berlari setiap pagi. Entah di jalan yang sama atau di jalan yang berbeda. Aku hanya ingin berlari, mencari, dan menunggunya sampai kembali.
***
Pagi itu, seperti biasa aku mengikat tali sepatu joggingku.
“Mau jogging lagi?”, tanya ibu.
“Iya”, jawabku sambil mengikat tali sepatu kanan.
“Tapi ini hari terakhir kamu di sini, apa nanti keburu ke bandara?”
“Aku udah packing kok bu, nanti tinggal mandi, sarapan, terus berangkat.”, jawabku sambil berjalan keluar rumah. “Jogging dulu ya bu!”
Blam! Aku menutup pintu di belakangku.
Kakiku melangkah menyusuri gang-gang kompleks ini. Aku sudah sangat hapal jalan-jalan disini. Tentu saja, setiap hari aku selalu jogging memutari kompleks ini. Tapi, setiap melewati rumah itu, kakiku selalu terasa berat. Sebuah rumah sederhana berlantai dua dengan cat kuning yang sudah mulai luntur. Aku berhenti di depan rumah itu. Menatap sebuah jendela di ujung kanan lantai dua. Selalu tertutup gorden putih. Hari ini pun jendelanya tidak dibuka dan gordennya masih menutup.
***
Aku berlari-lari kecil meninggalkan rumah itu. Di sebelahku seorang laki-laki seusiaku berlari mengiringiku. Wajah yang sangat aku kenal. Wajah yang sangat aku suka. Aku tersenyum melihat wajahnya saat berlari, selalu terlihat serius. Dahinya berkerut-kerut dan bibirnya menggumamkan sesuatu. Entah apa yang ada di pikirannya. Aku tidak pernah sekalipun menanyakannya. Tapi, aku sangat suka mendengar suara gumamannya. Walaupun aku tidak pernah tahu apa yang digumamkannya. Kami berlari mengelilingi kompleks. Melewati lapangan sepakbola di ujung kompleks dan sesekali kami berhenti untuk melihat beberapa anak-anak SD bermain sepakbola atau olahraga yang lain. Lalu, kami tertawa melihat kelucuan anak-anak itu. Setelah itu kami berlari lagi melewati warung penjual minuman. Kami berhenti dan membeli minuman di warung itu.
Pluk ! Dia memukul kepalaku dengan botol minumnya.
“Aduh ! Sakit !”, erangku.
“Jangan minum minuman dingin !”, ujarnya.
“Memangnya kenapa?”, tanyaku sambil mengelus-elus kepalaku.
“Minuman dingin itu tidak bagus untuk orang yang habis olahraga. Minum air putih biasa saja.”
Aku menuruti kata-katanya dan mengambil air putih biasa. Dia berlari lagi dan aku mengejar di belakangnya. Ya, aku selalu mengejarnya. Berlari di belakangnya adalah hal yang paling aku suka. Melihat punggungnya atau rambutnya atau kakinya saat berlari membuatku sangat bersemangat untuk berlari setiap pagi.
Kami melewati sebuah taman bermain yang letaknya sekitar satu kilometer dari rumah kami. Kami selalu menyempatkan untuk bermain di taman itu. Hanya sekedar duduk-duduk atau main ayunan. Dia mendorong ayunan merah tua yang aku duduki. Aku suka hembusan angin di atas ayunan ini. Aku suka karena dia yang membuatku bisa merasakan angin sejuk di pagi hari.
***
Aku masih duduk di ayunan merah tua itu. Deraknya terdengar sangat kencang padahal aku tidak mengayun dan dia juga tidak mendorongnya. Ayunan ini sudah sangat tua dan taman ini juga tampak sangat kusam. Aku melihat sekeliling taman. Hanya aku sendiri disini. Dia tidak ada. Waktu itu dia bilang hanya akan pergi sebentar saja. Tapi, sampai sekarang dia tidak kembali. Ya, 20 tahun sudah berlalu sejak hari itu. Aku tidak akan pernah lupa saat di taman ini dia berkata bahwa setelah lulus SMA dia akan pergi ke luar kota untuk kuliah, bekerja, dan pasti akan kembali untukku. Dia memintaku untuk menunggunya. Ya, aku menunggunya selama 20 tahun. Dan dia tidak kunjung kembali.
“Thessa?”
Seseorang menyadarkanku dari lamunan singkat di atas ayunan. Aku tercekat. Wajah itu tampak tidak asing.
“Kamu beneran thessa?”
Bibirku kelu. Apakah penantianku selama 20 tahun akan berhenti di sini?
“Iya...” Suaraku bergetar. “Ra…Rado?”
Rado tersenyum. Senyum yang sama. Mata yang sama. Wajah yang sama.
“Aku tadi melihat seseorang berlari di depan rumahku, aku pikir itu kamu dan ternyata benar.”
Bahkan suaranya juga sama. Semuanya sama. Hanya saja dia tampak agak berkeriput dan rambutnya terlihat lebih rapi, tidak seberantakan dulu.
“Apa kabar? Kenapa kamu di sini?”, tanyanya.
Pertanyaan itu menggantung di langit-langit pikiranku. Kenapa dia menanyakan hal itu padaku? Bukankah seharusnya aku yang menanyakan hal itu padanya?
“Aku…”
“Mama! ayo pulang!”, seorang anak perempuan berusia sekitar 12 tahun berjalan menghampiriku. “Mama, aline cariin dari tadi ternyata di sini, papa udah marah-marah loh ! Nanti kita ketinggalan pesawat!”
Aku dan Rado menoleh ke arah anak perempuan itu. Wajahku mengeras. Seakan sebuah realita demi realita menghampiriku dalam sebuah bayangan masa lalu.
“Hmm…kenalkan… ini anakku, Aline. Aline… kenalkan… ini temen mama, Om Rado.”, kataku terbata-bata.
Aline mengulurkan tangannya sambil menyebutkan namanya. Rado menyambut tangan Aline sambil tersenyum tipis.
“Ya udah, aline pulang dulu ma. Mama cepet pulang ya. Nanti ketinggalan pesawat loh!”
Aline berlari meninggalkan aku dan Rado.
Aku dan Rado berpandangan cukup lama dalam diam.
“Hari ini...”, aku memecah keheningan. “Hari ini, aku, suamiku, dan anakku akan berangkat ke luar negeri karena itu seminggu ini aku tinggal di rumah ibu untuk berpamitan.”
Rado masih diam lalu tersenyum lebar.
Sesaat kemudian, kami berjalan bersama meninggalkan taman bermain menuju rumah masing-masing sambil menceritakan serpihan kecil kenangan masa lalu. Kami tertawa lepas. Penantianku berakhir sudah.



-ultrautogia-
for : yys


Thursday, July 25, 2013

Angel’s Serenade



Plok ! Plok ! Plok !
Suara tepuk tangan menggema ke seluruh ruangan kelas yang sepi itu. Gadis kecil itu masih bersemangat bertepuk tangan seorang diri di ujung pintu kelas. Anak laki-laki yang baru saja selesai memainkan piano itu terperanjat dan melongo bingung melihat reaksi gadis kecil itu.
“Bagus! Bagus sekali!” Akhirnya gadis kecil itu berjalan masuk ke kelas dan mendekati anak laki-laki itu.
Anak laki-laki itu menaikkan alisnya, bertanya-tanya, siapakah anak perempuan ini?
“Lagu apa itu tadi?”
“Tidak tahu.”, jawab anak laki-laki itu singkat. Matanya masih memandang penuh selidik pada gadis kecil itu.
“Ha? Kau tidak tahu lagunya tapi bisa memainkannya?”
“Tidak tahu. Karena aku baru saja membuatnya…”
“Apa? Kau yang membuat lagu itu tadi?” Mata gadis kecil itu tampak berbinar-binar.
“Iya, tapi belum selesai dan…”
“Bagus sekali! Mainkan sekali lagi!” Pintanya penuh semangat.
“Kau mau mendengarnya lagi?” Wajah anak laki-laki itu tampak bingung.
“Hm! Tentu saja!”

***

BRAKK!! BRAKK!! BRAKK!!
Aku meringkuk sambil menutupi kepala dengan kedua lenganku. Suara-suara kayu yang berjatuhan itu masih jelas terdengar. Aku tidak tahu bagaimana ceritanya papan-papan kayu itu berjatuhan, yang aku ingat, aku sudah meringkuk di dekat sebuah tempat yang banyak sekali kayu-kayunya. Beberapa menit kemudian, kayu-kayu itu sudah berhenti bergerak, berhenti berjatuhan, dan berhenti berbunyi. Punggungku terasa sakit, pasti karena kejatuhan salah satu papan kayu itu. Aku masih menutup mataku tidak berani melihat sekelilingku.
“Kau tidak apa-apa?”, tanya seseorang. 
Aku menurunkan lengan dari kepalaku dan membuka mataku.
“Kau tidak apa-apa?”, tanyanya lagi sambil mengulurkan tangannya.
Lampu yang remang-remang membuat wajahnya tidak tampak jelas.
“Ah…I-Iya…” Aku menyambut uluran tangannya. Lalu mencoba untuk berdiri.
Punggungku terasa nyeri saat dia menarik tanganku. Pasti papan kayu itu sangat keras menghantam punggungku tadi. Aku berhasil berdiri di hadapannya tapi aku masih belum bisa melihat wajahnya karena tinggiku hanya sedadanya dan saat ini yang ada di hadapanku bukanlah wajahnya, melainkan dadanya yang bidang.
“AH!!”, jawabku kaget sambil mundur beberapa langkah saat aku tersadar telah memandangi dadanya selama beberapa saat.
“Kenapa? Apa kau terluka?” Sekarang aku bisa melihat wajahnya. Wajah yang tampak bersinar seperti malaikat.
“Pu-Punggungku… Sepertinya kayu itu mengenai punggungku…”, jawabku sambil terus menatap matanya.
“Oh ya? Mana mungkin? Kayu-kayu yang jatuh kan ada di sebelah sana…”, tunjuknya pada sebuah tempat di belakangku.
Aku membalikkan tubuhku cepat-cepat. Sekitar lima meter dari tempatku berdiri, ada setumpuk papan kayu yang sepertinya berjatuhan dari konstruksi gedung yang belum jadi. Aku tidak percaya dengan hal yang baru saja aku lihat. Kayu-kayu itu tadi benar-benar berjatuhan di dekatku, kenapa bisa ada di sana?
“Kau… Kenapa kau bisa ada di sini? Apa yang kau lakukan di sini?”
Aku membalikkan tubuhku padanya. Kepalaku terasa sakit sekali. Semuanya aneh. Aku tidak tahu. Aku tidak ingat apa-apa.
“Hey? Kenapa kau diam saja? Dimana rumahmu? Sepertinya kau masih sekolah ya? Masih SMA ya? Atau SMP? Kenapa masih di luar jam segini? Sebaiknya kau segera pulang.”
Aku memegangi kepalaku. Rasanya berat sekali. Badanku lemas. Ada apa ini?
“Kepalaku...” Sebelum aku sempat melanjutkan kata-kataku, semua menjadi gelap.

***

Aku melayang dalam awan-awan dan terbang bersama angin. Aku mendengar melodi yang indah. Sebuah lagu yang sudah lama sekali tidak aku dengar. Aku berlari, melompat, dan menari mengikuti melodi itu. Tiba-tiba saja lagu itu terhenti. Aku mencari dan terus mencari melodi itu. Namun, aku tidak pernah menemukannya.
Aku membuka mataku. Samar-samar aku melihat bintang-bintang berwarna hijau menempel pada sebuah benda berwarna putih. Aku mengernyitkan dahiku.
“Oh, kau sudah bangun?” Terdengar suara seseorang dari kejauhan.
Aku menoleh ke asal suara. Aku terperanjat. Hampir saja terjatuh dari tempat tidur serba putih ini.
“Kau…”, suaraku kelu.
“Maaf, kau pasti kaget. Semalam kau pingsan, aku tidak tahu ke mana harus membawamu, jadi aku membawamu ke apartemenku.” Dia berjalan mendekati kasur.
“Lagipula, apartemenku dekat sekali dengan tempat konstruksi bangunan jadi aku pikir akan lebih cepat kalau membawamu ke sini.” Sekarang dia sudah berdiri di depan kasur.
Aku meremas selimut putih di atas kasur sambil menutupkan selimut itu pada separuh wajahku.
“Hahaha… Tenang saja… Aku tidak berbuat hal yang aneh-aneh padamu.”
Aku tidak bergerak sedikit pun. Mataku menatapnya dengan tatapan curiga.
“Be-benar… Aku tidak bohong… Semalam aku tidur di sofa itu…” Tunjuknya pada sofa yang ada di luar kamar dan memang letak sofa itu berhadapan dengan pintu kamar.
Aku masih tidak bergerak.
“Ya sudah kalau kau tidak percaya!” Dia membalikkan badannya. “Aku harus pergi ke kampus. Kau juga harus pulang dan pergi ke sekolah kan! Sana cepat pulang!”
Perlahan-lahan aku turun dari kasur dan berjalan sambil melihat ke sekeliling ruangan.
“Itu!”, tunjukku pada sebuah benda yang terletak di tengah ruangan. Aku mendekati benda itu.
Dia menoleh. “Kau bisa memainkannya?”
Aku menggeleng pelan. “Kau bisa memainkannya?”, tanyaku balik. 
“Tentu saja aku bisa, kalau aku tidak bisa memainkan piano, untuk apa aku mempunyai piano di apartemenku yang sempit ini?”
“Ah…” Aku mengangguk sambil tersenyum senang. 
Aku membuka penutup piano dan menekan salah satu tutsnya.
Ding! Seperti itulah bunyinya.
Suara piano, suara ini, suara yang sudah lama aku rindukan. Aku ingin mendengarnya lagi.
“Kau mau memainkan piano ini?” Sebuah senyum penuh semangat tersungging di wajahku berharap dia akan memainkan piano ini.
Dia menghela nafas pendek.
“Maaf, bukannya aku tidak mau main piano, tapi aku sudah terlambat, aku ada kelas pagi dan kau juga harus pulang kan? Kau juga harus pergi ke sekolah? Jangan-jangan kau berniat membolos?”, elaknya sambil menyambar tasnya.
Aku mengernyitkan dahiku. Bingung.
Dia membuka pintu apartemennya lebar-lebar lalu berdiri di depan pintu apartemen sambil terus memegang gagang pintunya.
Aku berjalan pelan keluar dari apartemennya. Menunggunya mengunci pintu apartemen.
“Sudah ya, aku berangkat dulu, aku sudah terlambat. Kau harus cepat-cepat berangkat juga.” Dia berlari meninggalkanku.
“A…” Sebelum aku sempat mengeluarkan kata-kataku, sosoknya sudah menghilang berlari menuruni anak-anak tangga di apartemen.
Aku berjalan bolak-balik di depan pintu apartemennya. Matahari sudah hampir terbenam tapi dia tidak pulang-pulang juga. Kakiku juga capek dari tadi mondar-mandi seperti ini. Aku duduk sambil meluruskan kakiku di depan pintu apartemennya. Entah detik yang ke berapa, akhirnya aku jatuh tertidur.
Sore itu, melodi indah itu mengalun. Mengantarku pada tempat-tempat tak terduga. Membawaku pada momen-momen tak terlupakan. Aku ingin menyimpannya. Aku ingin memilikinya. Aku ingin selalu bersamanya. Lagu itu… melodi itu…
Sebuah benda yang keras menusuk-nusuk pipiku. Aku terbangun kaget. Wajahnya sangat dekat sekali dengan wajahku. Jari telunjuknya menempel di pipiku.
“Kenapa kau masih ada di sini?”, tanyanya.
Aku berdiri cepat-cepat sambil merapikan rambutku yang sudah berantakan bentuknya.
Dia berdiri lalu memasukkan kunci ke dalam slot pintu. Cekrek! Pintu terbuka lalu dia segera masuk ke dalam apartemennya. Aku berdiri mematung di depan apartemennya. Dia membalikkan badannya.
“Mau masuk?”, tanyanya.
Aku mengangguk-angguk cepat sambil tersenyum lebar.
Dia menyeringai lalu menutup pintu apartemennya tepat di depan wajahku. Meninggalkanku seorang diri di luar apartemen.
Jam demi jam berlalu, bulan sudah meninggi di atas awan, dan aku masih duduk menghadap pintu apartemen itu berharap kalau saja dia akan membukakan pintu untukku. Aku tidak berani mengetuk pintunya ataupun memanggil-manggil namanya. Aku juga baru ingat kalau aku tidak tahu nama orang itu. Tidak berapa lama terdengar suara piano mengalun dari dalam apartemennya. Lagu yang tidak aku kenal tapi terdengar indah. Aku berdiri mendekati pintu, ingin sekali aku mengetuk pintu itu, melihatnya bermain piano, mendengar lagu yang dimainkannya dengan lebih jelas, tapi aku sangat takut. Akhirnya, aku duduk lagi menghadap ke pintu apartemen sambil mendengarkan alunan piano yang dimainkannya.
Beberapa menit kemudian dia berhenti memainkan pianonya. Aku masih duduk meringkuk. Sekarang, aku tidak berharap dia membukakan pintu untukku, aku hanya berharap dia terus memainkan pianonya saja.
Tiba-tiba saja pintu terbuka. Sosoknya yang tinggi menjulang dengan sorotan mata tajam menatapku dengan pandangan kesal.
Dia menghela nafas pendek. “Sudah kuduga kau masih di sini.”
Posisi dudukku masih tidak berubah. Duduk meringkuk sambil memeluk kedua kakiku.
“Kau bodoh ya? Di luar dingin sekali! Ayo cepat masuk!”, perintahnya ketus.
Aku segera melompat berdiri sambil tersenyum senang. “Aku boleh masuk?”
Dia memicingkan matanya. Aku segera berlari masuk ke dalam apartemennya dan menuju piano di tengah ruangan.
“Kau mau memainkan ini lagi?”, tanyaku saat dia berjalan ke dapur yang letaknya di depan piano.
“TIdak. Aku baru saja memainkannya.”
Aku mengerucutkan bibirku, kesal.
“Kau sudah makan? Mau minum apa?”
Aku membanting tubuhku ke atas sofa. “Terserah saja.”
Dia tampak sibuk di dapur menyiapkan makanan dan minuman untukku. Aku masih memandangi piano itu dengan penuh penasaran. Aku ingin sekali mendengar suara piano itu lagi.
Dia membanting piring dan gelas yang berisi makanan dan minuman yang tidak aku tahu apa namanya ke atas meja lalu duduk di sebelahku. Aku melihatnya dengan pandangan takut.
“Setelah makan dan minum ini, kau harus pulang!”, katanya tegas.
“Eee… Itu… Sebenarnya… Aku tidak punya rumah. Maksudku, aku tidak ingat rumahku dimana… Sebenarnya semalam aku juga tidak ingat apa yang terjadi padaku…” 
Dia memicingkan matanya. Memandangku penuh selidik, penuh kecurigaan.
“Jangan bercanda! Jangan membodohiku! Jangan menipuku! Kau pasti anak SMA yang melarikan diri dari rumah lalu berpura-pura amnesia supaya aku mau menampungmu kan? Atau kau sebenarnya adalah stalker-ku yang berpura-pura amnesia supaya bisa tinggal bersamaku?”
Aku mengernyitkan dahiku. Semakin bingung. Apa yang orang ini pikirkan?
“Kau ini bicara apa sih? Aku tidak mengerti. Terserah kau mau percaya atau tidak, tapi aku benar-benar tidak ingat apapun!”
Dia mendengus kesal. “Aku akan melaporkanmu pada polisi. Siapa namamu? Dimana rumahmu? Apa yang kau lakukan di konstruksi bangunan semalam? Apa kau melarikan diri? Apa kau buronan? Apa kau penjahat? Pembunuh? Orang gila yang melarikan diri dari rumah sakit jiwa?”
“Aku tidak tahu, tidak ingat, sudah kubilang kan!!”
Dia berdiri lalu berjalan menuju kamarnya. Dia berdiam diri lama sekali di dalam kamarnya. Aku memutuskan untuk memakan makanan yang ada di atas meja. Saat aku sudah selesai makan dan mencuci piring dan gelas, dia baru keluar dari kamarnya.
“Baiklah.”, ujarnya yakin. “Kau boleh tinggal di sini. Semalam saja. Besok kau harus pulang atau aku akan membawamu ke kantor polisi.”
“Hm!” Aku mengangguk kencang dan tersenyum senang.
“Malam ini, kau bisa tidur di kamarku, aku akan tidur di sofa.”
“Hm! Hm!” Aku mengangguk makin kencang dan tersenyum makin senang.
“Ck!” Dia mendecak kesal kemudian masuk ke dalam kamar lagi. Tiba-tiba dia keluar membawa sebuah selimut yang sangat tebal.
“Cepat tidur. Aku akan mematikan semua lampu.”, katanya sambil meletakkan selimut itu ke atas sofa.
Aku segera berlari menuju kamarnya. Dia mematikan lampunya. Ruangan menjadi sangat gelap. Namun, aku baru sadar, ternyata ruangan ini tidak sepenuhnya gelap. Di seluruh langit-langit apartemen ini sudah ditempeli bintang-bintang yang hanya bisa bercahaya saat ruangan gelap total.
“Wah... Apa itu?”, tanyaku kagum. Aku sengaja membuka pintu kamar supaya bisa berbicara dengannya.
“Bintang fosfor.”
“Kenapa kau menempelkan bintang-bintang itu?”
“Aku suka melihat bintang. Saat aku melihat bintang di langit, aku merasa seseorang yang aku tunggu ada di atas sana, seseorang yang mungkin aku lupakan.”
“Siapa?”, tanyaku penasaran. “Siapa yang kau tunggu? Siapa orang yang kau lupakan itu?”
“Aku tidak tahu. Aku hanya merasa seperti itu saja. Aku merasa seperti sedang menunggu seseorang, tapi aku tidak tahu siapa yang aku tunggu, mungkin saja orang yang aku lupakan, atau mungkin saja sebenarnya aku tidak menunggu siapapun.”
“Hah? Kau kena amnesia ya?”, ledekku.
“Ck!! Sudahlah! Aku tidak mau berbicara lagi denganmu!”, jawabnya kesal.
Aku terkikik kecil.
Ruangan ini sangat gelap. Aku tidak bisa melihat wajahnya. Ekspresi apa yang dia perlihatkan saat aku meledeknya atau saat dia menceritakan tentang bintang-bintang itu padaku, aku tidak tahu. Hanya bintang-bintang fosfor yang berpendar itu saja yang bisa aku lihat di seluruh ruangan ini.
Setelah itu, kami terdiam cukup lama.
“Hey,” panggilku lagi “kau sudah tidur?”
“Tadi hampir tertidur, tapi karena kau memanggilku aku jadi bangun lagi.”
“Oh…”
Kami terdiam lagi.
“Ada apa?”, tanyanya memecah keheningan.
“Siapa namamu?” aku balik bertanya.
Dia terdiam sepersekian detik sebelum akhirnya menjawab. “Kevin.”
“Hhh… senangnya bisa ingat nama diri sendiri… Kevin ya? Jadi aku bisa memanggilmu Kevin kan?”
“Anonim.”, cetusnya “Aku akan memanggilmu anonim.”
“Hah?”, seruku bingung.
“Karena kau tidak punya nama, makanya kau pantas disebut anonim.”
“Hah???”, seruku lebih keras.
“Baiklah! Selamat tidur, anonim!”
“Hah???”, seruku makin keras. Tidak ada reaksi darinya.
Lima belas detik. Tiga puluh detik. Enam puluh detik. Masih tidak ada reaksi darinya. Sepertinya dia benar-benar tertidur.
“Selamat tidur, Kevin.”

***

Aku menggeliat di atas kasur. Di luar kamar terdengar bunyi-bunyi aneh. Aku berjalan keluar kamar sambil mengucek mataku dan sesekali menguap. Kevin tampak sibuk memulai pagi harinya. Dia berlari ke sana-sini dan menjatuhkan beberapa barang-barang. Lalu berlari keluar apartemen dan mengunci pintu apartemen dari luar. Dia bahkan tidak sempat mengucapkan selamat pagi padaku ataupun mengusirku dari apartemennya. Mungkin, dia lupa tentang keberadaanku di rumah ini atau memang benar-benar sedang terburu-buru. Yang jelas, saat apartemen ini ditinggalkannya, keadaannya sudah seperti rumah yang terkena gempa bumi.
“Harus dimulai dari mana ini?”, gumamku saat berniat membereskan kerusuhan di apartemen.
Matahari sudah terbenam saat aku selesai membersihkan seluruh isi apartemen ini. Aku tidak menyangka ternyata bersih-bersih seperti ini membutuhkan waktu yang sangat lama dan sangat melelahkan. Aku merebahkan tubuhku di atas kasur sambil melihat bintang-bintang di langit kamar.
“Orang yang dia tunggu? Orang yang dia lupakan? Orang yang seperti apa ya?”, gumamku.
Tiba-tiba pintu apartemen terbuka. Aku segera berlari keluar kamar dan menyambutnya.
“Selamat datang.”
“Hah?! Kau! Kenapa kau masih di sini?”
Kevin membuka mulutnya perlahan seakan berkata ‘ah.. iya…’
Kevin berjalan melewatiku dan melihat sekeliling ruangan apartemennya dengan terkejut. Lalu menoleh ke arahku, berkedip dua kali, lalu membuang muka.
Dia berjalan mendekati pianonya. Aku berlari mendekatinya.
“Kau mau bermain piano?”
“Tidak. Hari ini aku sudah bermain piano selama seharian.”
Aku menghentakkan kaki, kesal. Lalu duduk diam di sofa.
“Kenapa kau masih di sini? Sana, cepat pulang. Aku sibuk, tidak bisa mengurusmu.”, ujar Kevin sambil duduk di kursi piano. Dia membuka penutup pianonya, mengeluarkan beberapa lembar kertas dari tasnya, dan meletakkan kertas-kertas itu di atas piano.
“Kau tidak tahu terima kasih!”, bentakku kesal. “Aku kan sudah membersihkan apartemenmu, kenapa tidak bilang terima kasih padaku atau paling tidak memberi aku makanan atau…”
“Aku sudah menampungmu selama dua hari. Siapa yang kurang berterima kasih?” Matanya menatap lurus wajahku dengan ekspresi dingin dan tajam.
Aku kalah. Tidak bisa membalas kata-katanya. Baiklah, aku akan pergi, walaupun aku tidak tahu kemana aku akan pergi.
Aku berdiri dari sofa.
“Baiklah.”, katanya kemudian. Aku menoleh padanya yang masih sibuk membaca-baca kertas-kertas musik itu. “Aku akan memainkan satu lagu untukmu, tapi setelah itu, kau harus pergi ya.”
Senyumku terkembang. Aku berlari mendekatinya.
Dia melihatku dari atas ke bawah dengan pandangan menyelidik. “Aku baru sadar, kau belum ganti baju dari hari pertama kita bertemu.”
Aku melihat ke diriku sendiri. Ah iya benar. Aku juga baru sadar. Dari kemarin-kemarin aku hanya memakai terusan putih polos berlengan sedang dengan panjang di bawah lutut.
“Ah, iya. Memangnya kenapa? Kau mau memberiku baju?”
Dia melengos. “Tidak!”
Aku berdiri di sampingnya. Dia masih sibuk membalik-balik kertasnya.
“Lagu ini aneh.”, gumamnya.
“Kenapa? Ada apa?”
“Aku tidak ingat pernah membuat lagu ini, tapi saat tadi aku coba memainkannya sepertinya lagu ini sudah lama ada di dalam ingatanku.”
“Kau yang membuat lagu ini?”
“Sepertinya. Lihat ini…” Dia menunjuk tulisan bawah judul lagu “Ada namaku kan? Biasanya aku menuliskan namaku dan tahun pembuatan di bawah judul lagu yang aku buat.”
Aku mengangguk-angguk mengerti.
Angel’s Serenade… Jadi lagu ini aku buat sepuluh tahun yang lalu? Kenapa aku tidak ingat sama sekali? Aku tidak menyangka sepuluh tahun lalu aku sudah bisa membuat lagu seperti ini.” Dia bergumam lagi.
“Kenapa tidak kau coba mainkan?”, usulku.
Dia membuka pianonya dan meletakkan jari-jarinya di atas tuts-tuts piano. Nada-nada itu mengalun menjadi sebuah melodi yang indah. Aku tersentak. Hatiku terasa sakit. Kepalaku rasanya berputar. Lagu ini. Melodi ini. Dimana aku pernah mendengarnya?
Aku menutup mataku. Bayangan-bayangan itu berkelebat dalam memoriku. Semakin lama melodi itu dimainkan semakin dalam kenangan-kenangan itu muncul dalam pikiranku.
Aku ingat. Aku ingat semuanya. Kenapa aku bisa terjatuh di sana malam itu, kenapa aku bertemu dengannya, kenapa aku ada di sini sekarang… Aku mencari lagu ini, mencari melodi ini… Melodi yang sudah lama tidak aku dengar... melodi yang sudah lama ingin aku dengar… Selain itu… Aku mencarinya, sang pembuat melodi ini… 

“Ayo pulang.” Sosok tinggi besar bercahaya putih itu menggandeng tanganku.
“Kapan aku bisa bertemu dengannya lagi?”
“Sepuluh tahun lagi.”
“Kalau begitu, sepuluh tahun lagi aku akan menemuinya.”
“Tapi, kalian akan saling melupakan satu sama lain.”
“Kenapa?”
“Karena inilah takdir kalian, kalian berbeda.”

Melodi itu berhenti. Kevin sudah selesai memainkan lagu itu. Aku jatuh terduduk. Punggungku terasa sakit. Aku mengerang kesakitan.
“Hey, kau kenapa?” Kevin menyentuh lenganku.
Punggungku semakin lama semakin sakit. Aku mengerang  semakin keras. Bertepatan dengan munculnya sepasang sayap putih besar dari punggungku. Tiba-tiba angin kencang berhembus dan sebuah cahaya putih menembus dari balik jendela. Kevin terpental jauh dariku. Kertas-kertas partitur musik itu bertebangan dan jatuh ke lantai. 
Cahaya putih itu melingkupiku, tubuhku terangkat ke udara.
Kevin memandangku dengan pandangan takjub dan kaget. Sebagian pikirannya terbang menuju hari itu. Kevin ingat semua. Kenapa dia suka melihat bintang-bintang di langit, kenapa dia merasa ada seseorang yang selalu dia tunggu, kenapa dia merasa ada seseorang yang dia lupakan, dan kenapa dia membuat melodi berjudul Angel’s Serenade.
“A-angel…” Kevin tergagap. “Kau… Angel…” Tangannya mencoba meraihku.
Aku mengulurkan kedua tanganku. Tapi, sejauh apapun aku mencoba menangkap tangannya, aku tidak bisa mendapatkannya.
Tubuhku melayang menembus jendela, terbang ke luar, ke udara lepas malam hari. 
“Angel…!!”, serunya dari balik jendela.
Cahaya putih semakin terang melingkupiku dan aku melayang semakin tinggi.
“Terima kasih, Kevin.” Aku tersenyum dan memandang wajahnya untuk yang terakhir kalinya.
Cahaya putih terang berpendar sekejap seperti kilat seiring hilangnya Kevin dari pandanganku.

***

“Kau aneh. Laguku tadi kan jelek.”, kata anak laki-laki itu saat keluar dari ruang kelas.
“Bagus kok! Terdengar seperti lagu surga”, sanggah gadis kecil itu.
“Lagu surga? Apa itu?”
Gadis kecil itu mengangkat bahunya, tanda dia juga tidak mengerti apa maksudnya.
“Kau bilang lagumu itu tadi belum selesai ya?”
“Iya.”
Gadis kecil itu berhenti di depan anak laki-laki itu. Anak laki-laki itu menghentikan langkahnya.
“Kalau begitu, kau harus segera menyelesaikan lagu itu. Kalau sudah selesai, kau harus memainkannya di hadapanku. Aku harus jadi orang pertama yang mendengarnya ya? Ya? Ya?”
Anak perempuan ini memaksa sekali, pikir anak laki-laki itu.
“Baiklah…” anak laki-laki itu berekspresi seperti setengah hati menyetujui usul si gadis kecil, padahal jauh di dalam hatinya dia merasa senang.
“Kau bukan murid les piano ini ya? Aku tidak pernah melihatmu.”, tanya anak laki-laki itu saat mereka berjalan di halaman gedung les piano.
“Aku hanya sedang berjalan-jalan di daerah sini dan mendengar suara piano.”
Anak laki-laki itu diam-diam melirik gadis kecil berbaju putih panjang yang berjalan di sebelahnya itu. Senyumnya terkembang tipis.
 “Siapa namamu?”, tanya gadis kecil itu saat mereka hampir sampai di gerbang gedung les piano.
Anak laki-laki itu menghentikan langkahnya saat mereka sampai di gerbang dan memandang wajah gadis kecil yang berdiri di hadapannya.
“ Kevin. Kau?”
“Angel.” Gadis kecil itu tersenyum manis.




The End



-ultrautogia-

Wednesday, July 10, 2013

Malam Ini Untuknya dan Besok Malam Untukmu.


Gadis itu menangis di dalam kamarnya seorang diri. Aku berjalan menghampirinya dan duduk di dekatnya dalam diam. 
"Maafkan aku."
Gadis itu menangis semakin kencang. 
"Maaf, aku tidak bisa seterusnya di sisimu. Aku menyukaimu. Aku sangat menyukaimu. Tapi aku..."
Dia memandangku dengan mata sembabnya. 
"Kamu jahat. Kenapa kamu tega sama aku?" Airmatanya menetes. "Kamu pergi kemana aja?"
"Ah... aku pergi ke rumahnya... Begini... Aku tidak bisa selamanya bersamamu. Karena itu aku..." 
Gadis itu memelukku. "Aku mencarimu kemana-mana. Jangan pergi lagi ya." 
Aku diam dalam pelukannya. 
Dia memelukku semakin erat. 
"Maaf...", kataku kemudian. "Aku menyukaimu, tapi aku juga menyukainya. Aku tidak bisa membohongi hatiku." 
Aku meronta dan melepaskan pelukan darinya. 
"Kamu mau kemana?", teriaknya. 
Aku berlari dan melompat dari jendela kamarnya. 
"Aku harus pergi menemuinya malam ini. Besok malam aku akan menemuimu lagi."
"Jangan pergi!!", teriaknya semakin kencang saat aku berjalan semakin jauh. "Manis, jangan tinggalkan aku!" 
"Aku tidak meninggalkanmu!!", balasku berteriak lebih kencang darinya. Tapi baginya suara yang sedari tadi keluar dari mulutku hanyalah terdengar "Meong meong meong meong meong" saja. 
Aku menghela nafas panjang lalu menghilang dalam kegelapan malam. 


-ultrautogia- 
FF2in1

Kau adalah Telinga dan Tembokku.


Kau adalah telinga. Telinga yang mendengarkanku. 
Begitulah kalimat yang meluncur dari mulutnya. Aku masih sangat muda. Tidak tahu apa maksudnya. Tapi, aku senang. Aku senang dia selalu berbicara denganku. Aku senang dia selalu mencariku. Aku senang dia membutuhkanku. Aku yang selalu merasa tersesat di dunia ini bagaikan seekor kucing liar di pinggir jalan, hanya dia yang menemukanku, hanya dia yang mau memungutku, hanya dia yang mau datang padaku. 
Aku sangat bahagia. Pada saat itu. 
Kau adalah tembok. Tembok yang mendengarkanku.  
Pepatah cina mengatakan bahwa jika kamu tidak punya seseorang yang bisa kamu ajak bicara, berbicaralah pada tembok, tembok pasti mendengarkanmu. 
Begitulah kalimat yang keluar dari bibirnya. Aku tertegun. Aku selalu mendengarkannya. Mendengarkan ceritanya tentang wanita itu. Setiap hari. Setiap malam. Setiap saat. Kapanpun dia mau. Aku selalu ada untuknya. Apa dia tahu itu menyakitkan bagiku? Aku memang tidak boleh berbicara. Aku hanya mendengar. Tapi, hal ini lama-lama menyakitkan untukku. Apa tidak bisa sekali saja dia mendengar ceritaku? Aku juga ingin bercerita tentangku. Tentang aku dan dia. 
Tak sedetikpun dia membiarkanku berbicara. 
Tetap saja aku hanya telinga dan tembok untuknya. 
Meskipun dia menemukanku. Dia menyelamatkanku dari dunia yang sesat ini. Aku tidak mau hanya menjadi telinga dan temboknya. 
"Selamat tinggal.", kataku padanya malam itu. 
Keesokan harinya, dia kehilangan telinga dan temboknya. Sejak saat itu, dia tidak bisa berbicara pada siapapun. Sejak saat itu, aku adalah masalah terbesar dalam hidupnya yang tidak pernah dia ceritakan pada siapapun. 



-ultrautogia- 

FF2in1

Wednesday, June 19, 2013

a greedy girl



Maybe I'm just a greedy girl...

I want everything in this world...

But even so, I never be satisfied...

But still, I want, want, want, want, want, want, want, want, want, want, want everything in this world...

Yet still, I never feel satisfied...

Never...

Not even once...

Maybe... I'm just a greedy girl....



-ultrautogia-

Monday, June 17, 2013

Look ! I'm laughing again !

Hello... Hello...

Long time no see... I've been so busy doing something unnecessary... Oh yes, I'm in a big trouble in terms of priority scale... sigh... long sigh... long long sigh...

Some of my friends have already departed from university or I might say they already graduated or will graduate soon... They leave me behind... Oh no, it is actually not like that... I let them leave before me... Yes, I don't do any strong efforts, I don't struggle harder than them, No, I don't and I don't know why...

But, it doesn't mean that I have no worries with something like that... I have big worries, it troubles me all the time... It pressed me down day by day...

It's like.....

I want to give up

I want to give in

But, I am not allowed to do that...

I force myself to smile or laugh, to hide my true feelings, to conceal my true feelings...

I am running away... Escaping myself from one place to others...

I'm like a fool...

Yet, I know, I will never always run away... I will never always escape...

I am too afraid in facing reality...

Such a coward...

I laugh a lot these days... I bet this is the form of my stress and pressed feelings...

I don't know... It's like I laugh at my self, I laugh at my life...

I don't know where it will end or when it will end...

This is all I want to share...

Not really necessary, huh?

HAHAHAHAHAHA ~ ! Look ! I'm laughing again !!




-ultrautogia-

Saturday, April 20, 2013

The White Swan and The Broken Wings (part 2)



I held my breath. Why was he here?
“Sit down, please.” Hye Ji-ssi pointed at the empty couch beside him.
I just walked pass him and sat beside Hye Ji-ssi.
Hye Ji just smiled slightly. I guessed she understood me very well.
“So, Yang Yoseob ssi, this is my student, Bae Su Ji, who punched you few days ago, I guess you already knew her.”
The unnecessary greeting for introducing me sounded so uncomfortable for me.
He nodded. “Ne, I knew her… very well…”
My heart raced faster.
“Su Ji-ah... please show your good attitude... Please do apologize to him...”
Mwo?! Apologize to him? I gazed at Hye Ji-ssi.
“Ah, no. It’s okay. Su.. Ji.. ssi doesn’t need to apologize to me...”
I glared at him.
“I actually came here because I am so disturbed with the rumor... I thought if I came here to meet Su Ji-ssi... we could clarify the rumor out there... but, as Hye Ji-ssi had said to me the rumor will eventually vanish... So, I thought I will have to endure it a little bit longer...”
I clenched my fist.
“I think, I have to go now...” He stood up. “Excuse me...”
Hye Ji-ssi also stood up. “So you’re really okay with that, Yoseob-ssi?”
He nodded. “Excuse me, Hye Ji-ssi... Su Ji-ssi...” He walked outside the office followed by Hye Ji-ssi.
I still sat in silence here. I almost lost my breath. I sweated a lot. I think, I need to take some medicine.
Few seconds later Hye Ji-ssi came back to her office.
“Su Ji, are you okay? You looked so pale?” She placed her hand on my forehead. “You sweat a lot.”
She ran and came back with a glass of water. “Here, drink this.”
I gulped the water immediately. And still it’s hard to breathe.
“Sleep here for a while.” Hye Ji ssi pulled my legs and took it on the couch. I lied my head and tried to breathe calmly, I need to calm myself.
***
“Okay! Class dismissed. Audition will be held next two days. Keep practicing and take a good rest, girls.” Hye Ji-ssi shouted to all the whole class in this dance room.
Class began so quiet. Some of them went home. Only few girls here, still practicing their moves and flexibility.
“Su Ji, you don’t go home? It’s late. You should take a rest. Don’t force yourself.” Hye Ji ssi stood beside me.
“It’s okay. I’ll stay here a little longer.”
“I’m sorry about today...”
“It’s okay Hye Ji-ssi...” I cut her words. “I’m okay.”
“Geurae... I trust you...” She walked out the room as she shouted to the other girls in the dance room “Girls, hurry go home, don’t stay up late!”
I’m okay. I’m sure. I’m really okay. I won’t let anyone bother my life anymore. Not even him!
Slightly, his figures came to my mind. He never change. I recognized him as I saw him a year ago at the entrance ceremony. He stood few meters in front of me. My heart skipped a beat. It was him. I just hid myself behind others’ students. Fortunately, he didn’t see me. Soon, I realized that he took music class. Majorly in vocal and instruments. I can’t say I’m a stalker, but I sometimes check on him. I sometimes see him practicing singing or playing piano or guitar. He never look at me. He never realize my existence. And I hope he will never do.
However, few months ago, I saw him practicing dancing with some of his friends in annex building next to Ballet Class building. I saw him through the window in this room.
I stopped my moves. I looked around the room. Nobody was here. They already went home and I didn’t even realize it. I walked slowly to the window in the corner of the room. I opened the curtain hanging on the window and quietly see the annex building through this window. That annex building was dark. No one there. I thought, he stopped coming there since a month ago. I was afraid. I was very afraid he stopped coming because he knew me watching him almost every night from here. For almost a year, I hid my existence from him. But, he finally found me. He finally knew. I closed the curtain and walked away. I checked my phone. Five missed calss. Three texts. All from Eomma.
 Where are you?
Where are you? Answered eomma’s call
Where are you? Ppali, go home.
Eomma, she never changed. She is always overprotective to me.
I’m going home now.
I sent short text to eomma.
I put all my stuffs inside my backpack and left Ballet Class building quietly. I was about going out of the building when I saw someone walked alone to the annex building.
Is it him?, I thought.
I sneaked out into the annex building. It was him. I followed him slowly and quietly.
“Who’s there?” He turned his body to me. Fortunately, the area between Ballet Class building and annex building was rather dark, so he didn’t recognize me. I stopped my step. He came front to me. A single step. I walked backward. A single step.
“Who’s there? Who are you?!!” He shouted.
I ran away left him. I dashed as fast as I could. Left Ballet Class building to the main gate of this school. I had to go out from this school as fast as I could.
“YAA!! DON’T RUN!!” He chased me.
“KYAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA” I screamed along the way to the main gate. It was there. I dashed faster.
Braaaaaaakkk! I tripped. I hit someone.
“Are you okay?” A security tried to help me to stand. But, I refused it. Ah, I hit this security ahjussi.
“Ah ne, ahjussi. Gwenchana...”
“What happened?” He asked me. He might heard my scream and thought something bad happened to me.
“Aniya...”
“YAAAA!! DON’T RUN !! WAIT!!” Oh no! He still chased me.
“Ahjussi, kamsahamnida!”
I ran again left that ahjussi alone and confused.
“KYAAAAAAAAAAAA” I screamed and dashed even faster. I didn’t care what happened behind me. I just ran and ran. I must stay away from him.
***
I woke up in the morning with the feeling of extremely exhausted. It seemed like I have run for hundreds miles.
“Su Ji. Su Ji. Wake up!” eomma shouted and hit my door.
“Ne. Eomma...”
I looked at my legs. There were bruises on both my legs. It was because I tripped last night. 
“Eomma will scold me...” I mumbled.
I lied my body on bed again.
I’ll just skip today’s class, I thought.
“Su Ji-ah...” Eomma knocked my door and went into my room. “Why are you still lying on bed? Are you sick?”
“I don’t want to go to school today...”
Mom placed her hand on my forehead. “Why? You’re not sick.” Mom realized that my body temperature was normal.
“Eomma, just let me rest today. Tomorrow, I will have an audition...”
Eomma looked at me calmly, as if she really understood her daughter flicker heart and mind.
She sighed and left my room. “I’ll call a doctor, then”
“What doctor? I don’t want more doctor!!! I’m sick of it!!” I yelled.
Eomma smashed the door.
I still lied in bed. The blanket covered my body. It’s been an hour. I just stared blankly at the ceiling.
“Excuse me... Su Ji-ah...” Someone knocked the door.
I stayed silent. I knew it was that doctor.
“May I come in?”
I stayed silent. I didn’t want to answer her.
She opened the door and entered my room.
I still didn’t move.
She walked to the bed and placed her black-typically-doctor’s bag on the floor. She is a tall woman with slim and slender body. Eventhough, she has wrinkles, she is still beautiful. And her face reminds me a lot to my Ballet Teacher, Kim Hye Ji-ssi. This doctor is her twin sibling, her name is Kim Hye Ri.
“Su Ji ah... What happenede with you? Why don’t you want to go to school?”
I turned away my face to avoid eye-contact with her. I was always afraid of this woman. Eventhough, she is twin sibling of Hye Ji-ssi, she brought different aura and atmosphere. Hye Ji-ssi is calm. Hye Ri-ssi is scary.
I closed my body with my blanket and pretended to sleep.
She’s been there for thirty minutes. I still stayed silent.
“You don’t want to talk to me?” She sighed. “Well, okay, then, I’ll leave.”
I heard she wrote something. “I’ll leave you some medicines and some notes for you to read.”
She put it on the desk beside my bed and left my room.
I got up and took the note.
Take this medicine twice a day. After breakfast and before sleeping. This will calm your nerves.
I crumbled and tossed the note to the floor. I just unreasonably wailed and wailed.
***
I missed some steps and moves. It was because my bruises. Today’s audition went very bad for me. In the end I just simply failed. I put my ballet shoes in the locker. Somehow, I didn’t regret my failure.
“Su Ji, can I talk to you?” I saw Hye Ji-ssi was standing on the edge of the loker room.
“Ye...” I nodded and follow her direction to her office.
“What bothers you actually? You seemed so blank and out of focus today. If you try harder today, you can pass this audition. You can be main character for this annual ballet play...”
“Enough...” I mumbled. “I’m enough, I’m so enough with this...”
“What do you say?”
My tears fell down. “I’m so sorry Hye Ji-ssi, I’m so enough with this... I’m tired of being the best... I’m tired of being the main character... I’m not as good as you think...”
Hye Ji-ssi hugged me. “Cry.” She said “Cry as many as you want...”
I miss being hugged. I wanna be hugged. I cried even louder.





The White Swan and The Broken Wings (part 1)




“Evil!”
Rotten!
“Just go! die!”
I opened my eyes. My body was full of sweat and I barely could breathe. That dream again. It kept coming these days. I don’t know why… Is it because of that day?
I got up from my bed, took a bottle of water, and gulped it fast. I tried to clear my mind.
Did I imagine it? Did I see the right one?
***
Cherry blossoms bloomed beautifully this morning. The weather also felt so nice. But, I woke up late and did everything in a rush. How terrible was my life for beautiful day like this. I pedaled my bike to the parking lot. The first class would be starting in three minutes. I hurried and ran along the corridor. I arrived just in time. Class was so full and I couldn’t find any empty seat in the back. I finally found a seat on the second row, in the corner. Today’s subject is History of Korea or very boring subject, I might say. Thirty minutes later, I saw around the class… Everybody was busy playing their own gadgets or chit chatting or sleeping or listening to music from their headsets or anything else I couldn’t mention one by one. While, I just continuously yawned and tried so hard to keep opening my eyes. Before, I caught that face… A familiar face… I’ve seen that face before… 
Suddenly, my body was awake and my eyes opened widely. It’s not because the History subject was going interesting but that face pulled me to keep thinking of something slipped in my mind.
She was sitting in the front row. Six or seven seats away from me. I only saw her face slightly. Her hair kept moving and almost covering her side face as she took a note. Ah, she kept taking note on everything that the lecturer explained.
Weird girl. Doesn’t she feel bored?, I thought.
Well, but that’s not my point. I just felt, I’ve ever seen her face, somewhere. I couldn’t remember.
The bell rang. Class dismissed in a flash. All the students left their chairs. So did she.
Ah! I remember. I remember that face. But… Really? It’s really her? it can’t be !
I put my books and pen into my bag and was about to chase her to make sure that I was not wrong.
“Yoseob-ah! You’re late today…” Kikwang patted my shoulder, suddenly kikwang stood beside me.
“Oh, Kikwang-ah. Sorry. I have to go. I still have things to do.”
I left kikwang and ran outside class.
“Ya! Yoseob-ah? Oediga?”, Kikwang yelled at me and followed me behind.
She wasn’t there. She wasn’t everywhere. She disappeared.
“Ya! Yoseob-ah? Waeyo?”
I looked around. Many students passed this corridor. But, where did she go? How can she walk that fast?
“Yoseob-ah? Are you looking for someone?”
I looked at Kikwang. “Ah, kikwang! Aniya… I’m not looking for someone. Hmm… Let’s go to the next class!”
I might only imagine it. It might be someone else.
***
It was a week ago. My dreams kept coming since that day, haunted me every night. Sometimes, the story of the dream skipped from one to another, it’s like a puzzle that I have to finish. But, I still can’t do it.
Another History class today. I wonder if I meet her again or not. I came so early today so that I could pick a seat wherever I want.
“Yoseob-ah!”, Kikwang greeted me as I entered the class. “Come! Come here!” Kikwang pointed at the seat beside him. But it was too far away in the back. While, I had to make sure someone who seemed to always sit in the front, remembering how diligent she was a week ago.
“Oh! Kikwang ah!” I dashed to him and grabbed his arm. “Let’s sit in the front.”
“Mwo???” Kikwang stared at me confusedly and tried to let his arm go of me. “Shireoyo! It’s history class, I don’t want to ruin today’s nice weather by being stuck in History class!”
“Jebal... Just this time...” I pulled his arm and took him in the seat beside me. In the corner of second row.
“Ah... Waeyo?” He said as he put headset in his ears. “If something happens with me today, you have to take the responsibility.” He leaned his arms on the desk, his head was on his arms and he slept.
I looked around. She didn’t come yet. The class was almost full. Maybe I was mistaken.
Suddenly, the class buzzed. I saw some boys whispered in happiness, or I thought so, some of them tried to call any names, some of them couldn’t stop staring at something. I looked at the entrance class, there were some girls standing gracefully near the door class. Who are they? 
“Kikwang ah!” I patted Kikwang’s shoulder.
“Oh?” Kikwang’s eyes looked almost red.
“Who are they?”
“Ah? Nugu?” Kikwang rubbed his eyes.
“They. Who are they?” I asked Kikwang again.
“Ah... They....” Seemed like Kikwang was already awake. “They are from Ballet Class. They’re so beautiful, aren’t they?”
“Ballet Class? They’re also taking this History Class?”
Those girls moved and sat on the seats in the first row, right exactly in front of me. As they moved, the people, mostly the boys stared at and chatted about them.
My heart skipped a beat. She was there. She is one of the Ballet Class students.
So it is really her. She is really here. She is real. She is not my imagination.
The History class started few seconds later. I just couldn’t stop staring at her. It was because I still couldn’t believe my eyes, I couldn’t believe with what I just saw. While, she just diligently took note. Not even a bit looked around or chatted. She just focused on listening to the lecturer.
The History class finished sooner than usual. It is just me, or it is really finished sooner than usual. I don’t even know. I just stared at her along that class.
Kikwang streched his body.
“Kikwang, I should go first!” I dashed out of the class, chased her.
“Eh?”
I ran to her. Ah, she’s there !
“Yoseobieeee....! Wait...” I heard kikwang ran behind me.
She turned her body. I stopped my steps right in front of her.
“Kyaaaaaaaaaaaaaaa!!” She screamed and punched my face. The next moment I remembered was all dark. I fainted.
***
“Oppa,oppa, come here!”
“What?”
“I made this for you...”
“What is this?”
“This is flower crown... So, you are the prince... and I’m the princess...”
“Oppa, oppa...”
“What?”
“This is from me... I made this with mom... This is special for you...”
“What is this? A pudding?”
“Eung...”
“Hmm... Delicious! You really made this?”
“Eung!”
“Oppa, oppa, this is for you...”
“What is this? A letter? Hey, where are you going? Why are you running?”
“Yoseob-ah... Yoseob-ah... Gwenchana?”
I slowly opened my eyes. My head was like spinnin around. My cheek was so in pain and I felt something inside my nose.
“Yoseob-ah... Are you okay?” 
I tried to recognize a face in front of me. It was still blurry but I knew his voice. Lee Kikwang, my best buddy.
I touch my left cheek. “Aoww!!”
“Don’t touch it. You’re hurt.” Suddenly someone came to me and put alchohol on my cheek.
“Aoww” I kept on moaning.
I gradually realized that a doctor was taking care of me and Kikwang was sitting on the chair beside my bed and my nose was bleeding before I woke up. 
“Just rest a little bit and you can go home.” That doctor left me and Kikwang.
“Ne, kamsahamnida.” Kikwang answered that doctor
“Where am I?” asking Kikwang while still lying on the bed.
“Infirmary.”
“So, we’re still in campus? I thought I’m in hospital.”
“Ya ! Neo! Neo michyeseo? Do you know what just happened with you?”
Actually, I didin’t really recall what just happened with me. I thought I saw many things. I saw a punch on my face, a little girl, flower crown, pudding, and letter. Then suddenly, I opened my eyes and found myself here.
“What happened?” I asked confusedly.
“You don’t really remember?” Kikwang looked at my face.
Knock! Knock!
“Excuse me...”
I woke and sat on my bed once I heard that voice.
A tall, slim, and slender woman came into infirmary room. Yet, she was old, because I saw some wrinkles around her eyes, she still looked beauiful.
“Are you Yang Yoseob?”
“Ne... Dangsineun nuguseyo?” I asked her back.
She immediately bowed his body to me. “I’m really sorry... One of my students punch you... I, on behalf of Ballet Class, really beg your apologize...”
I was so shocked. So shocked until my eyes would pop out. I slowly remembered what just happened with me. I was punched by a girl. I fainted, I guess. And those random things came when I was unconcious.
I kept silent. I still needed time to make myself fully sober.
“Ottae?” Kikwang poked my arm and whispered.
“A... Animnida... Gwenchanasseyo...” I didn’t know how to react to that ‘sudden attack’.
She straight her body and stared at me.
“Thank you for your kindness.” She smiled warmly.
“ If you still need further examination for your wound, you may have it, we will cover for every payment. You can also contact me here...” She handed me a business card.
Kim Hye Ji. A Ballet teacher. And some phone number. That’s what was written in the card.
“Ah... Ne... But, I think I’m okay.”
She smiled again. Warmly.
“Once again, we’re really sorry, and we hope you recover soon. I have to go now, I’m sorry for disturbing you.”
“Ah... Ne... Kamsahamnida... Kim Hye Ji-ssi...”
She left infirmary room right after that.
“What was that?” asked Kikwang confusedly.
I just stared blankly at the infirmary door.
***
Few days after that incident, I still became the ‘trending topic’ around school. Some of them talked behind me, gossiped around me, and speculated about many things I didn’t even think to do. A made-up unrelieable story spread around the school like buzzing bees. The headline was “A beautiful and popular ballet class’ student give her magnificent punch to a random student”
And yes, that random student was no other than me...
And yes, they kept talking about it for almost a week. Their speculation were I tried to do something bad on her, or I was her crazy fanboy who stalked her and tried to touch her, or I said something very bad to her that made her angry, or any other speculations... I just couldn’t stop thinking about it. I think I should clarify this. Well, I am just a random student in this vast Seoul School of Music and Dance, but still, I think I have the right to clear my name from bad rumor.
And, here I am. I sneaked out on Ballet Class. Ballet Class was located in the building in the most south of any other building. This is a two-storey building and not as big as other buildings, but this is a beautiful building with elegant and glamour interior design, so European. I was a little mistaken, even though it is not a really big building comparing to others, it still has many large rooms which I believe most rooms are used for practicing ballet. Some rooms are just medium size which may be used for class or lockers rooms or other. Ok, I’m enough analyzing this building. I have to find her, I thought.
There were a group of girls practicing in every room I passed. But, yet I still didn’t find her. I walked to the stairs in the corner of the building. This second floor only have few medium size room which were used for class, and office room.
I almost ended my tour in this Ballet Class building when somebody called my name.
“Yang Yoseob-ssi?”
I turned my body in shocked.
I gulped my saliva. “Kim... Hye...Ji...ssi...” I stuttered.
“What are you doing here?”
“I...”
She smiled as warmly as ever. “We can talk in my office. Come, follow me.”
Suddenly, classes over and many girls walked out from their class. They stared at me in shocked and confused. Some of them whispered about the incident few days ago. My bruise is still here on my cheek and I sometimes still feel the pain. I followed Kim Hye Ji-ssi in silence hoping that this corridor would end soon, hoping that I could reach her office immeadiately.
“Have a seat, please.”, she said as I entered her office.
I sat on the couch in front of her desk.
“Please, wait a minute.” She said as she dialled numbers on the phone.
I looked around the office. A small yet comfortable room. Not many stuffs in this room. But I saw there are many photos hanging on the wall. I believe they are her photos because almost all the photos are photos of girls doing ballet. Maybe they are her photos from her childhood to her teenage or youth life when she still did ballet.
“So, Yang Yoseob-ssi. What brings you here?” she asked me as soon as she hang the phone.
I turned my gaze at her.
“Ah... It was because... the... spreading rumor...” I stuttered even more. What happened with me?
She nodded, walked, and sat on the couch in front of me. We were just separated with a glass table which have a vase and a white flower in it.
“I knew about the rumor... Don’t worry about the rumor... It will eventually vanish even before you realize it...”
Knock. Knock. Someone knocked the door.
“Excuse me, Hye Ji-ssi... Can I come in?”
I turned my head on the voice. She stood there. In front of the door. That familiar face. The face I used to know.

***