Tuesday, February 26, 2013

Catatan Pendek Untuk Sahabat



Sahabat...
ada yang ingin aku bicarakan padamu... Tapi aku tidak sanggup mengungkapkannya...

Sahabat...
Jika kamu membaca ini, maka inilah yang sebenarnya ingin aku bicarakan denganmu...

Sahabat...
Sadarkah kamu bahwa sekarang kita berubah? Sadarkah kamu bahwa sekarang kita tidak seperti dulu lagi? Kita tidak berbicara dan mengobrol asik seperti dulu. Kita tidak bercanda dan tertawa-tawa seperti dulu. Kita tidak lagi mempunyai rahasia yang hanya dimiliki oleh kita saja.

Sahabat...
Tahukah kamu kalau kita sekarang semakin menjauh? Sadarkah kamu kalau kita sekarang berbeda? Kamu berada di jalanmu dan aku berada di jalanku... Dulu hal itu adalah hal yang menyenangkan karena perbedaan kita malah membuat kita membangun suatu jalan yang hanya kita saja yang bisa lewati... Tapi, sadarkah kamu sahabat? Jalan setapak yang kita bangun itu sekarang sudah tertutup oleh rumput-rumput, bebatuan, bahkan ilalang-ilalang karena kita tidak pernah menapakinya lagi. Jalan itu mulai hilang.

Sahabat...
Sadarkah kamu bahwa aku kehilanganmu? Aku kehilangan sosokmu dalam hidupku. Aku tidak lagi mengenalimu. Jika aku bertemu denganmu, aku hanya merasa bahwa kamu adalah orang asing. Padahal dulu kamu adalah orang yang sangat mengenalku. Padahal dulu aku adalah orang yang sangat mengenalmu.

Sahabat...
Sadarkah kamu bahwa kita makin tenggelam dalam dunia kita masing-masing sampai kita tidak ingat lagi bahwa kita punya dunia yang masih perlu untuk dihidupkan? Cahaya dalam dunia itu mulai meredup. Kesunyian mulai merasuk dalam dunia itu. Kekosongan mulai masuk dalam dunia itu.

Sahabat...
Tahukah kamu ada kekosongan yang aku rasakan di dalam hatiku? Kehilanganmu adalah penyebab utama kekosongan ini. Ada sebuah tempat dimana hanya kamu yang bisa mengisinya.... dan jika kini kamu pergi... dan jika kini aku membiarkan kamu pergi... maka tempat ini akan kosong sampai kapanpun... karena hanya kamu yang bisa mengisi tempat ini...

Sahabat...
Betapa aku sangat merindukan saat-saat dulu bersamamu. Kita tertawa dan bercanda seakan-akan beban hidup kita tak pernah ada. Kita bertingkah semau kita sendiri dan menggila bersama seakan hidup kita akan berakhir esok hari.

Sahabat...
Aku bukanlah orang yang bisa memegang orang lain atau mengekang orang lain. Aku adalah orang yang akan melepaskan orang lain jika orang lain itu memang mau melepaskan diri dariku.

Sahabat...
Aku masih ingin bersahabat denganmu. Aku masih ingin menjalani saat-saat indah bersamamu seperti dulu. Aku masih ingin mengalami hal-hal konyol bersamamu.

Sahabat...
Namun, jika hal-hal itu sudah tidak bisa lagi dilakukan... jika hal-hal itu sudah tidak mungkin lagi...

Sahabat...
Aku tidak akan melarangmu pergi... Aku tidak akan memegangmu erat-erat... karena aku tidak terbiasa melakukan hal itu... karena aku tidak bisa melakukan hal itu...

Sahabat...
Jika saat ini kamu harus pergi dan menjalani kehidupanmu tanpa aku... maka aku akan merelakannya...

Sahabat...
Maafkan aku, karena aku tidak bisa menjaga hubungan persahabatan kita... Maafkan aku, karena aku tidak bisa melindungi persahabatan kita... Maafkan aku, karena aku tidak bisa memperjuangkan persahabatan kita...

Sahabat...
Semoga kamu bahagia dengan hidupmu...

Sahabat...
Aku juga akan bahagia dengan hidupku...

Sahabat...
Terima kasih...


-ultrautogia-

Monday, February 25, 2013

Pathetic Loner



Apart of being in happiness, that is pathetic. Pathetic that I often feel when I'm alone. Worse, that pathetic feeling brings along loneliness.
I knew, I knew it already that once we grow older, we will eventually lose our friends. No wonder many people feel lonely in their life. 
I, sometimes, feel the way they feel. 
Everybody has his/her own business, and meddle one's business is definitely not good. That's what I feel and think now. I, lately, come alone to campus, head to library, read some books or references, and feel the peace inside alone. At some points I may need some peace of mind and heart to be alone only with me and myself. But, well, yeah, too much consuming such kind of treatment is kinda tiring... This peace of mind and heart in the silence or loneliness is not always makes me feel the peace. I need friends to talk to, to discuss or argue with, or to joke around with. I thought I have them when I was still a freshman in this campus... But where are them now? Oh! They're busy. Busy handling their own business, just like I do. They don't mind me and so do I. 
Well, yeah, maybe it is the time for me to grow a little bit older, I have to learn something new. My friends are not with me. I'm a pathetic loner. The problem is how long will I endure this kind of thing? Or how long will I get used to this kind of thing and at certain point this becomes a common thing so I don't need to feel fed up. So that I can grow older and grow up to see that life can be so pathetic and lonely without friends. Or how long will I endure until I stop defining myself as a pathetic loner? Because maybe I'm not a pathetic loner, maybe I'm just alone and sometimes feel pathetic and lonely. 
I born alone. I die alone. 
I may live with them. 
I may be alone.
I may be lonely. 
I may feel the emptiness. 
I may be a pathetic loner
I can only say "thank you" to life. I grew a little bit older.
I grew up. So that I can feel the way normal people may feel in their life.





-ultrautogia- 

Thursday, February 21, 2013

Bertukar Kehidupan


Seandainya kita dapat bertukar kehidupan, batinku. 
"Kamu mau?" tanyanya. 
Bagaimana kamu bisa mendengar suara hatiku?, batinku, sangat terkejut. 
"Tentu saja aku bisa, kita ini kan satu." ujarnya.
Ah, iya, benar juga! batinku lagi. Kalau kita bertukar kehidupan, apa kamu nggak akan menyesal? 
Bibirnya mengembang. "Tentu aja enggak! Aku malah pengen hidup di duniamu. Duniaku terlalu sempit. Aku bosan selalu menjadi bayang-bayang orang lain. Aku ingin punya kehidupanku sendiri." 
Tapi, hidup di duniaku tidak semudah  dan seenak yang kamu pikir. Banyak orang-orang jahat, orang-orang bermuka dua, orang-orang munafik yang bersembunyi di balik bayang-bayang kepalsuan. 
"Setidaknya mereka tidak terperangkap dalam dunia sempit seperti ini." Dia melihat ke atas ke bawah ke kanan dan ke kiri. 
Aku menghela napas. Baiklah. Baiklah kalau itu yang kamu inginkan, ayo kita bertukar kehidupan. Aku juga sudah lelah hidup di sini. 
"Beneran? Kamu serius? Kamu nggak menyesal?" tanyanya dengan penuh semangat. 
Ya, hanya untuk sementara saja. Aku ingin beristirahat sebentar dari kehidupanku yang seperti ini, jawabku. 
Senyumnya merekah. Kami menyatukan tangan kami, begitu juga dengan kepala, tubuh, dan kaki kami. Kami memejamkan mata. Tidak tahu apa yang terjadi, hanya saja saat itu seakan duniaku jadi berputar dan terbalik. Saat aku membuka mata semua masih terlihat sama. Dia di sana dan aku di sini. Tidak ada yang berubah, setidaknya itu yang terlintas di pikiranku. 
"Kita udah bertukar kehidupan!" Dia berteriak senang.
Benarkah? tanyaku tidak yakin. 
"Mulai sekarang aku akan jadi kamu. Dan... jangan harap aku mau kembali ke tempat itu. Nikmatilah sisa hidupmu di sana!"  Dia menatap mataku tajam dan nada bicaranya berubah kejam. Sesaat kemudian dia beranjak meninggalkanku.   
Tunggu! Tunggu! Jangan pergi! Aku berlari mengejarnya tapi tubuhku menabrak sesuatu yang tak terlihat.
Tidak! Tidak mungkin! Kami benar-benar bertukar kehidupan! Tidak mungkin! Tidak!!! 
Kembalikan kehidupanku!
Aku telah terperangkap dalam cermin ini. Kini aku menjadi bayang-bayangnya.
Menjadi bayang-bayang dari bayang-bayangku sendiri. 


-ultrautogia- 

Wednesday, February 20, 2013

Janji Papa


"Janji ya nggak akan ninggalin aku?" Dia menyodorkan kelingkingnya padaku.
Senyumku terkembang. "Janji." Kami mengaitkan jari kelingking kami. Sebuah tanda perjanjian bahwa aku tidak akan pernah meninggalkannya.
Sesaat kemudian dia memasuki ruangan itu.
Sepuluh tahun sudah dia rutin menjalani perawatan di sini. Sepuluh tahun sudah aku menemaninya. Tidak pernah sekalipun aku meninggalkannya. Sepuluh tahun sudah aku berjanji padanya. Sepuluh tahun sudah aku selalu menepati janjiku padanya dan akan selalu menepati janjiku sampai kapanpun.
Aku mendekap kertas kecil berwarna pink itu. Airmataku menetes. Istriku memelukku dalam diam, perlahan aku mendengar isak tangisnya. Kami berdua bersimpuh di depan tempat peristirahatannya yang kekal.
Hanya sepucuk surat yang dia tinggalkan padaku bertuliskan pesan singkat:

Terima kasih papa, karena selalu menemaniku dan nggak pernah ninggalin aku. Terima kasih karena papa selalu menepati janji. Adek sayang papa selamanya. 


-ultrautogia-
FF2in1

Pengagum Rahasia



Aku melihatnya malam itu. Berdiri dengan anggunnya, mengundang decak kagum siapapun yang melintas di depannya, termasuk aku. Hatiku berdegup kencang. Ingin aku mendekatinya, namun orang-orang itu terlebih dahulu mendekatinya. Aku hanya mampu memandanginya dari kejauhan. Melihat orang-orang datang dan pergi, orang-orang menghampiri dan meninggalkannya, orang-orang menyentuhnya dan tersenyum padanya. Aku menunggu, menunggu, dan menunggu. Menunggu saat dia benar-benar sendiri. Menunggu saat yang tepat untuk mendekatinya. Menunggu keberanianku datang. 
Malam semakin pekat. Orang-orang sudah mulai pulang. Tempat ini sudah mulai sepi. Aku memberanikan diriku untuk mendekatinya. Kakiku bergetar hebat. Mata kami bertemu saat aku sudah cukup dekat dengannya. Aku tersenyum padanya berharap dia akan membalas senyumku. Namun, dia diam saja. Aku mengulurkan tanganku meraih sebuah benda putih yang tergantung di dadanya. Sebuah label harga.
Aku menelan ludahku. 
"Selamat malam? Ada yang bisa dibantu?" Seseorang dengan seragam spg menghampiriku. 
Aku tersenyum kecut. 
"Ini produk baru, limited edition loh bu. Bisa dicoba dulu kalau mau?" 
Aku membuka mulutku. "Ah, nggak usah. Kayanya nggak cocok buat saya. Terima kasih." 
Aku beranjak meninggalkan tempat itu.
Ya, sepertinya aku hanya mampu menjadi pengagum rahasiamu saja, gaun malam merah super mahal. 



-ultrautogia-
FF2in1