Saturday, July 27, 2013

Sebuah Penantian



Aku berlari. Setiap pagi. Di jalan yang sama. Mencari dan menunggu. Tapi, dia tak kunjung tiba. Aku masih berlari setiap pagi. Entah di jalan yang sama atau di jalan yang berbeda. Aku hanya ingin berlari, mencari, dan menunggunya sampai kembali.
***
Pagi itu, seperti biasa aku mengikat tali sepatu joggingku.
“Mau jogging lagi?”, tanya ibu.
“Iya”, jawabku sambil mengikat tali sepatu kanan.
“Tapi ini hari terakhir kamu di sini, apa nanti keburu ke bandara?”
“Aku udah packing kok bu, nanti tinggal mandi, sarapan, terus berangkat.”, jawabku sambil berjalan keluar rumah. “Jogging dulu ya bu!”
Blam! Aku menutup pintu di belakangku.
Kakiku melangkah menyusuri gang-gang kompleks ini. Aku sudah sangat hapal jalan-jalan disini. Tentu saja, setiap hari aku selalu jogging memutari kompleks ini. Tapi, setiap melewati rumah itu, kakiku selalu terasa berat. Sebuah rumah sederhana berlantai dua dengan cat kuning yang sudah mulai luntur. Aku berhenti di depan rumah itu. Menatap sebuah jendela di ujung kanan lantai dua. Selalu tertutup gorden putih. Hari ini pun jendelanya tidak dibuka dan gordennya masih menutup.
***
Aku berlari-lari kecil meninggalkan rumah itu. Di sebelahku seorang laki-laki seusiaku berlari mengiringiku. Wajah yang sangat aku kenal. Wajah yang sangat aku suka. Aku tersenyum melihat wajahnya saat berlari, selalu terlihat serius. Dahinya berkerut-kerut dan bibirnya menggumamkan sesuatu. Entah apa yang ada di pikirannya. Aku tidak pernah sekalipun menanyakannya. Tapi, aku sangat suka mendengar suara gumamannya. Walaupun aku tidak pernah tahu apa yang digumamkannya. Kami berlari mengelilingi kompleks. Melewati lapangan sepakbola di ujung kompleks dan sesekali kami berhenti untuk melihat beberapa anak-anak SD bermain sepakbola atau olahraga yang lain. Lalu, kami tertawa melihat kelucuan anak-anak itu. Setelah itu kami berlari lagi melewati warung penjual minuman. Kami berhenti dan membeli minuman di warung itu.
Pluk ! Dia memukul kepalaku dengan botol minumnya.
“Aduh ! Sakit !”, erangku.
“Jangan minum minuman dingin !”, ujarnya.
“Memangnya kenapa?”, tanyaku sambil mengelus-elus kepalaku.
“Minuman dingin itu tidak bagus untuk orang yang habis olahraga. Minum air putih biasa saja.”
Aku menuruti kata-katanya dan mengambil air putih biasa. Dia berlari lagi dan aku mengejar di belakangnya. Ya, aku selalu mengejarnya. Berlari di belakangnya adalah hal yang paling aku suka. Melihat punggungnya atau rambutnya atau kakinya saat berlari membuatku sangat bersemangat untuk berlari setiap pagi.
Kami melewati sebuah taman bermain yang letaknya sekitar satu kilometer dari rumah kami. Kami selalu menyempatkan untuk bermain di taman itu. Hanya sekedar duduk-duduk atau main ayunan. Dia mendorong ayunan merah tua yang aku duduki. Aku suka hembusan angin di atas ayunan ini. Aku suka karena dia yang membuatku bisa merasakan angin sejuk di pagi hari.
***
Aku masih duduk di ayunan merah tua itu. Deraknya terdengar sangat kencang padahal aku tidak mengayun dan dia juga tidak mendorongnya. Ayunan ini sudah sangat tua dan taman ini juga tampak sangat kusam. Aku melihat sekeliling taman. Hanya aku sendiri disini. Dia tidak ada. Waktu itu dia bilang hanya akan pergi sebentar saja. Tapi, sampai sekarang dia tidak kembali. Ya, 20 tahun sudah berlalu sejak hari itu. Aku tidak akan pernah lupa saat di taman ini dia berkata bahwa setelah lulus SMA dia akan pergi ke luar kota untuk kuliah, bekerja, dan pasti akan kembali untukku. Dia memintaku untuk menunggunya. Ya, aku menunggunya selama 20 tahun. Dan dia tidak kunjung kembali.
“Thessa?”
Seseorang menyadarkanku dari lamunan singkat di atas ayunan. Aku tercekat. Wajah itu tampak tidak asing.
“Kamu beneran thessa?”
Bibirku kelu. Apakah penantianku selama 20 tahun akan berhenti di sini?
“Iya...” Suaraku bergetar. “Ra…Rado?”
Rado tersenyum. Senyum yang sama. Mata yang sama. Wajah yang sama.
“Aku tadi melihat seseorang berlari di depan rumahku, aku pikir itu kamu dan ternyata benar.”
Bahkan suaranya juga sama. Semuanya sama. Hanya saja dia tampak agak berkeriput dan rambutnya terlihat lebih rapi, tidak seberantakan dulu.
“Apa kabar? Kenapa kamu di sini?”, tanyanya.
Pertanyaan itu menggantung di langit-langit pikiranku. Kenapa dia menanyakan hal itu padaku? Bukankah seharusnya aku yang menanyakan hal itu padanya?
“Aku…”
“Mama! ayo pulang!”, seorang anak perempuan berusia sekitar 12 tahun berjalan menghampiriku. “Mama, aline cariin dari tadi ternyata di sini, papa udah marah-marah loh ! Nanti kita ketinggalan pesawat!”
Aku dan Rado menoleh ke arah anak perempuan itu. Wajahku mengeras. Seakan sebuah realita demi realita menghampiriku dalam sebuah bayangan masa lalu.
“Hmm…kenalkan… ini anakku, Aline. Aline… kenalkan… ini temen mama, Om Rado.”, kataku terbata-bata.
Aline mengulurkan tangannya sambil menyebutkan namanya. Rado menyambut tangan Aline sambil tersenyum tipis.
“Ya udah, aline pulang dulu ma. Mama cepet pulang ya. Nanti ketinggalan pesawat loh!”
Aline berlari meninggalkan aku dan Rado.
Aku dan Rado berpandangan cukup lama dalam diam.
“Hari ini...”, aku memecah keheningan. “Hari ini, aku, suamiku, dan anakku akan berangkat ke luar negeri karena itu seminggu ini aku tinggal di rumah ibu untuk berpamitan.”
Rado masih diam lalu tersenyum lebar.
Sesaat kemudian, kami berjalan bersama meninggalkan taman bermain menuju rumah masing-masing sambil menceritakan serpihan kecil kenangan masa lalu. Kami tertawa lepas. Penantianku berakhir sudah.



-ultrautogia-
for : yys


Thursday, July 25, 2013

Angel’s Serenade



Plok ! Plok ! Plok !
Suara tepuk tangan menggema ke seluruh ruangan kelas yang sepi itu. Gadis kecil itu masih bersemangat bertepuk tangan seorang diri di ujung pintu kelas. Anak laki-laki yang baru saja selesai memainkan piano itu terperanjat dan melongo bingung melihat reaksi gadis kecil itu.
“Bagus! Bagus sekali!” Akhirnya gadis kecil itu berjalan masuk ke kelas dan mendekati anak laki-laki itu.
Anak laki-laki itu menaikkan alisnya, bertanya-tanya, siapakah anak perempuan ini?
“Lagu apa itu tadi?”
“Tidak tahu.”, jawab anak laki-laki itu singkat. Matanya masih memandang penuh selidik pada gadis kecil itu.
“Ha? Kau tidak tahu lagunya tapi bisa memainkannya?”
“Tidak tahu. Karena aku baru saja membuatnya…”
“Apa? Kau yang membuat lagu itu tadi?” Mata gadis kecil itu tampak berbinar-binar.
“Iya, tapi belum selesai dan…”
“Bagus sekali! Mainkan sekali lagi!” Pintanya penuh semangat.
“Kau mau mendengarnya lagi?” Wajah anak laki-laki itu tampak bingung.
“Hm! Tentu saja!”

***

BRAKK!! BRAKK!! BRAKK!!
Aku meringkuk sambil menutupi kepala dengan kedua lenganku. Suara-suara kayu yang berjatuhan itu masih jelas terdengar. Aku tidak tahu bagaimana ceritanya papan-papan kayu itu berjatuhan, yang aku ingat, aku sudah meringkuk di dekat sebuah tempat yang banyak sekali kayu-kayunya. Beberapa menit kemudian, kayu-kayu itu sudah berhenti bergerak, berhenti berjatuhan, dan berhenti berbunyi. Punggungku terasa sakit, pasti karena kejatuhan salah satu papan kayu itu. Aku masih menutup mataku tidak berani melihat sekelilingku.
“Kau tidak apa-apa?”, tanya seseorang. 
Aku menurunkan lengan dari kepalaku dan membuka mataku.
“Kau tidak apa-apa?”, tanyanya lagi sambil mengulurkan tangannya.
Lampu yang remang-remang membuat wajahnya tidak tampak jelas.
“Ah…I-Iya…” Aku menyambut uluran tangannya. Lalu mencoba untuk berdiri.
Punggungku terasa nyeri saat dia menarik tanganku. Pasti papan kayu itu sangat keras menghantam punggungku tadi. Aku berhasil berdiri di hadapannya tapi aku masih belum bisa melihat wajahnya karena tinggiku hanya sedadanya dan saat ini yang ada di hadapanku bukanlah wajahnya, melainkan dadanya yang bidang.
“AH!!”, jawabku kaget sambil mundur beberapa langkah saat aku tersadar telah memandangi dadanya selama beberapa saat.
“Kenapa? Apa kau terluka?” Sekarang aku bisa melihat wajahnya. Wajah yang tampak bersinar seperti malaikat.
“Pu-Punggungku… Sepertinya kayu itu mengenai punggungku…”, jawabku sambil terus menatap matanya.
“Oh ya? Mana mungkin? Kayu-kayu yang jatuh kan ada di sebelah sana…”, tunjuknya pada sebuah tempat di belakangku.
Aku membalikkan tubuhku cepat-cepat. Sekitar lima meter dari tempatku berdiri, ada setumpuk papan kayu yang sepertinya berjatuhan dari konstruksi gedung yang belum jadi. Aku tidak percaya dengan hal yang baru saja aku lihat. Kayu-kayu itu tadi benar-benar berjatuhan di dekatku, kenapa bisa ada di sana?
“Kau… Kenapa kau bisa ada di sini? Apa yang kau lakukan di sini?”
Aku membalikkan tubuhku padanya. Kepalaku terasa sakit sekali. Semuanya aneh. Aku tidak tahu. Aku tidak ingat apa-apa.
“Hey? Kenapa kau diam saja? Dimana rumahmu? Sepertinya kau masih sekolah ya? Masih SMA ya? Atau SMP? Kenapa masih di luar jam segini? Sebaiknya kau segera pulang.”
Aku memegangi kepalaku. Rasanya berat sekali. Badanku lemas. Ada apa ini?
“Kepalaku...” Sebelum aku sempat melanjutkan kata-kataku, semua menjadi gelap.

***

Aku melayang dalam awan-awan dan terbang bersama angin. Aku mendengar melodi yang indah. Sebuah lagu yang sudah lama sekali tidak aku dengar. Aku berlari, melompat, dan menari mengikuti melodi itu. Tiba-tiba saja lagu itu terhenti. Aku mencari dan terus mencari melodi itu. Namun, aku tidak pernah menemukannya.
Aku membuka mataku. Samar-samar aku melihat bintang-bintang berwarna hijau menempel pada sebuah benda berwarna putih. Aku mengernyitkan dahiku.
“Oh, kau sudah bangun?” Terdengar suara seseorang dari kejauhan.
Aku menoleh ke asal suara. Aku terperanjat. Hampir saja terjatuh dari tempat tidur serba putih ini.
“Kau…”, suaraku kelu.
“Maaf, kau pasti kaget. Semalam kau pingsan, aku tidak tahu ke mana harus membawamu, jadi aku membawamu ke apartemenku.” Dia berjalan mendekati kasur.
“Lagipula, apartemenku dekat sekali dengan tempat konstruksi bangunan jadi aku pikir akan lebih cepat kalau membawamu ke sini.” Sekarang dia sudah berdiri di depan kasur.
Aku meremas selimut putih di atas kasur sambil menutupkan selimut itu pada separuh wajahku.
“Hahaha… Tenang saja… Aku tidak berbuat hal yang aneh-aneh padamu.”
Aku tidak bergerak sedikit pun. Mataku menatapnya dengan tatapan curiga.
“Be-benar… Aku tidak bohong… Semalam aku tidur di sofa itu…” Tunjuknya pada sofa yang ada di luar kamar dan memang letak sofa itu berhadapan dengan pintu kamar.
Aku masih tidak bergerak.
“Ya sudah kalau kau tidak percaya!” Dia membalikkan badannya. “Aku harus pergi ke kampus. Kau juga harus pulang dan pergi ke sekolah kan! Sana cepat pulang!”
Perlahan-lahan aku turun dari kasur dan berjalan sambil melihat ke sekeliling ruangan.
“Itu!”, tunjukku pada sebuah benda yang terletak di tengah ruangan. Aku mendekati benda itu.
Dia menoleh. “Kau bisa memainkannya?”
Aku menggeleng pelan. “Kau bisa memainkannya?”, tanyaku balik. 
“Tentu saja aku bisa, kalau aku tidak bisa memainkan piano, untuk apa aku mempunyai piano di apartemenku yang sempit ini?”
“Ah…” Aku mengangguk sambil tersenyum senang. 
Aku membuka penutup piano dan menekan salah satu tutsnya.
Ding! Seperti itulah bunyinya.
Suara piano, suara ini, suara yang sudah lama aku rindukan. Aku ingin mendengarnya lagi.
“Kau mau memainkan piano ini?” Sebuah senyum penuh semangat tersungging di wajahku berharap dia akan memainkan piano ini.
Dia menghela nafas pendek.
“Maaf, bukannya aku tidak mau main piano, tapi aku sudah terlambat, aku ada kelas pagi dan kau juga harus pulang kan? Kau juga harus pergi ke sekolah? Jangan-jangan kau berniat membolos?”, elaknya sambil menyambar tasnya.
Aku mengernyitkan dahiku. Bingung.
Dia membuka pintu apartemennya lebar-lebar lalu berdiri di depan pintu apartemen sambil terus memegang gagang pintunya.
Aku berjalan pelan keluar dari apartemennya. Menunggunya mengunci pintu apartemen.
“Sudah ya, aku berangkat dulu, aku sudah terlambat. Kau harus cepat-cepat berangkat juga.” Dia berlari meninggalkanku.
“A…” Sebelum aku sempat mengeluarkan kata-kataku, sosoknya sudah menghilang berlari menuruni anak-anak tangga di apartemen.
Aku berjalan bolak-balik di depan pintu apartemennya. Matahari sudah hampir terbenam tapi dia tidak pulang-pulang juga. Kakiku juga capek dari tadi mondar-mandi seperti ini. Aku duduk sambil meluruskan kakiku di depan pintu apartemennya. Entah detik yang ke berapa, akhirnya aku jatuh tertidur.
Sore itu, melodi indah itu mengalun. Mengantarku pada tempat-tempat tak terduga. Membawaku pada momen-momen tak terlupakan. Aku ingin menyimpannya. Aku ingin memilikinya. Aku ingin selalu bersamanya. Lagu itu… melodi itu…
Sebuah benda yang keras menusuk-nusuk pipiku. Aku terbangun kaget. Wajahnya sangat dekat sekali dengan wajahku. Jari telunjuknya menempel di pipiku.
“Kenapa kau masih ada di sini?”, tanyanya.
Aku berdiri cepat-cepat sambil merapikan rambutku yang sudah berantakan bentuknya.
Dia berdiri lalu memasukkan kunci ke dalam slot pintu. Cekrek! Pintu terbuka lalu dia segera masuk ke dalam apartemennya. Aku berdiri mematung di depan apartemennya. Dia membalikkan badannya.
“Mau masuk?”, tanyanya.
Aku mengangguk-angguk cepat sambil tersenyum lebar.
Dia menyeringai lalu menutup pintu apartemennya tepat di depan wajahku. Meninggalkanku seorang diri di luar apartemen.
Jam demi jam berlalu, bulan sudah meninggi di atas awan, dan aku masih duduk menghadap pintu apartemen itu berharap kalau saja dia akan membukakan pintu untukku. Aku tidak berani mengetuk pintunya ataupun memanggil-manggil namanya. Aku juga baru ingat kalau aku tidak tahu nama orang itu. Tidak berapa lama terdengar suara piano mengalun dari dalam apartemennya. Lagu yang tidak aku kenal tapi terdengar indah. Aku berdiri mendekati pintu, ingin sekali aku mengetuk pintu itu, melihatnya bermain piano, mendengar lagu yang dimainkannya dengan lebih jelas, tapi aku sangat takut. Akhirnya, aku duduk lagi menghadap ke pintu apartemen sambil mendengarkan alunan piano yang dimainkannya.
Beberapa menit kemudian dia berhenti memainkan pianonya. Aku masih duduk meringkuk. Sekarang, aku tidak berharap dia membukakan pintu untukku, aku hanya berharap dia terus memainkan pianonya saja.
Tiba-tiba saja pintu terbuka. Sosoknya yang tinggi menjulang dengan sorotan mata tajam menatapku dengan pandangan kesal.
Dia menghela nafas pendek. “Sudah kuduga kau masih di sini.”
Posisi dudukku masih tidak berubah. Duduk meringkuk sambil memeluk kedua kakiku.
“Kau bodoh ya? Di luar dingin sekali! Ayo cepat masuk!”, perintahnya ketus.
Aku segera melompat berdiri sambil tersenyum senang. “Aku boleh masuk?”
Dia memicingkan matanya. Aku segera berlari masuk ke dalam apartemennya dan menuju piano di tengah ruangan.
“Kau mau memainkan ini lagi?”, tanyaku saat dia berjalan ke dapur yang letaknya di depan piano.
“TIdak. Aku baru saja memainkannya.”
Aku mengerucutkan bibirku, kesal.
“Kau sudah makan? Mau minum apa?”
Aku membanting tubuhku ke atas sofa. “Terserah saja.”
Dia tampak sibuk di dapur menyiapkan makanan dan minuman untukku. Aku masih memandangi piano itu dengan penuh penasaran. Aku ingin sekali mendengar suara piano itu lagi.
Dia membanting piring dan gelas yang berisi makanan dan minuman yang tidak aku tahu apa namanya ke atas meja lalu duduk di sebelahku. Aku melihatnya dengan pandangan takut.
“Setelah makan dan minum ini, kau harus pulang!”, katanya tegas.
“Eee… Itu… Sebenarnya… Aku tidak punya rumah. Maksudku, aku tidak ingat rumahku dimana… Sebenarnya semalam aku juga tidak ingat apa yang terjadi padaku…” 
Dia memicingkan matanya. Memandangku penuh selidik, penuh kecurigaan.
“Jangan bercanda! Jangan membodohiku! Jangan menipuku! Kau pasti anak SMA yang melarikan diri dari rumah lalu berpura-pura amnesia supaya aku mau menampungmu kan? Atau kau sebenarnya adalah stalker-ku yang berpura-pura amnesia supaya bisa tinggal bersamaku?”
Aku mengernyitkan dahiku. Semakin bingung. Apa yang orang ini pikirkan?
“Kau ini bicara apa sih? Aku tidak mengerti. Terserah kau mau percaya atau tidak, tapi aku benar-benar tidak ingat apapun!”
Dia mendengus kesal. “Aku akan melaporkanmu pada polisi. Siapa namamu? Dimana rumahmu? Apa yang kau lakukan di konstruksi bangunan semalam? Apa kau melarikan diri? Apa kau buronan? Apa kau penjahat? Pembunuh? Orang gila yang melarikan diri dari rumah sakit jiwa?”
“Aku tidak tahu, tidak ingat, sudah kubilang kan!!”
Dia berdiri lalu berjalan menuju kamarnya. Dia berdiam diri lama sekali di dalam kamarnya. Aku memutuskan untuk memakan makanan yang ada di atas meja. Saat aku sudah selesai makan dan mencuci piring dan gelas, dia baru keluar dari kamarnya.
“Baiklah.”, ujarnya yakin. “Kau boleh tinggal di sini. Semalam saja. Besok kau harus pulang atau aku akan membawamu ke kantor polisi.”
“Hm!” Aku mengangguk kencang dan tersenyum senang.
“Malam ini, kau bisa tidur di kamarku, aku akan tidur di sofa.”
“Hm! Hm!” Aku mengangguk makin kencang dan tersenyum makin senang.
“Ck!” Dia mendecak kesal kemudian masuk ke dalam kamar lagi. Tiba-tiba dia keluar membawa sebuah selimut yang sangat tebal.
“Cepat tidur. Aku akan mematikan semua lampu.”, katanya sambil meletakkan selimut itu ke atas sofa.
Aku segera berlari menuju kamarnya. Dia mematikan lampunya. Ruangan menjadi sangat gelap. Namun, aku baru sadar, ternyata ruangan ini tidak sepenuhnya gelap. Di seluruh langit-langit apartemen ini sudah ditempeli bintang-bintang yang hanya bisa bercahaya saat ruangan gelap total.
“Wah... Apa itu?”, tanyaku kagum. Aku sengaja membuka pintu kamar supaya bisa berbicara dengannya.
“Bintang fosfor.”
“Kenapa kau menempelkan bintang-bintang itu?”
“Aku suka melihat bintang. Saat aku melihat bintang di langit, aku merasa seseorang yang aku tunggu ada di atas sana, seseorang yang mungkin aku lupakan.”
“Siapa?”, tanyaku penasaran. “Siapa yang kau tunggu? Siapa orang yang kau lupakan itu?”
“Aku tidak tahu. Aku hanya merasa seperti itu saja. Aku merasa seperti sedang menunggu seseorang, tapi aku tidak tahu siapa yang aku tunggu, mungkin saja orang yang aku lupakan, atau mungkin saja sebenarnya aku tidak menunggu siapapun.”
“Hah? Kau kena amnesia ya?”, ledekku.
“Ck!! Sudahlah! Aku tidak mau berbicara lagi denganmu!”, jawabnya kesal.
Aku terkikik kecil.
Ruangan ini sangat gelap. Aku tidak bisa melihat wajahnya. Ekspresi apa yang dia perlihatkan saat aku meledeknya atau saat dia menceritakan tentang bintang-bintang itu padaku, aku tidak tahu. Hanya bintang-bintang fosfor yang berpendar itu saja yang bisa aku lihat di seluruh ruangan ini.
Setelah itu, kami terdiam cukup lama.
“Hey,” panggilku lagi “kau sudah tidur?”
“Tadi hampir tertidur, tapi karena kau memanggilku aku jadi bangun lagi.”
“Oh…”
Kami terdiam lagi.
“Ada apa?”, tanyanya memecah keheningan.
“Siapa namamu?” aku balik bertanya.
Dia terdiam sepersekian detik sebelum akhirnya menjawab. “Kevin.”
“Hhh… senangnya bisa ingat nama diri sendiri… Kevin ya? Jadi aku bisa memanggilmu Kevin kan?”
“Anonim.”, cetusnya “Aku akan memanggilmu anonim.”
“Hah?”, seruku bingung.
“Karena kau tidak punya nama, makanya kau pantas disebut anonim.”
“Hah???”, seruku lebih keras.
“Baiklah! Selamat tidur, anonim!”
“Hah???”, seruku makin keras. Tidak ada reaksi darinya.
Lima belas detik. Tiga puluh detik. Enam puluh detik. Masih tidak ada reaksi darinya. Sepertinya dia benar-benar tertidur.
“Selamat tidur, Kevin.”

***

Aku menggeliat di atas kasur. Di luar kamar terdengar bunyi-bunyi aneh. Aku berjalan keluar kamar sambil mengucek mataku dan sesekali menguap. Kevin tampak sibuk memulai pagi harinya. Dia berlari ke sana-sini dan menjatuhkan beberapa barang-barang. Lalu berlari keluar apartemen dan mengunci pintu apartemen dari luar. Dia bahkan tidak sempat mengucapkan selamat pagi padaku ataupun mengusirku dari apartemennya. Mungkin, dia lupa tentang keberadaanku di rumah ini atau memang benar-benar sedang terburu-buru. Yang jelas, saat apartemen ini ditinggalkannya, keadaannya sudah seperti rumah yang terkena gempa bumi.
“Harus dimulai dari mana ini?”, gumamku saat berniat membereskan kerusuhan di apartemen.
Matahari sudah terbenam saat aku selesai membersihkan seluruh isi apartemen ini. Aku tidak menyangka ternyata bersih-bersih seperti ini membutuhkan waktu yang sangat lama dan sangat melelahkan. Aku merebahkan tubuhku di atas kasur sambil melihat bintang-bintang di langit kamar.
“Orang yang dia tunggu? Orang yang dia lupakan? Orang yang seperti apa ya?”, gumamku.
Tiba-tiba pintu apartemen terbuka. Aku segera berlari keluar kamar dan menyambutnya.
“Selamat datang.”
“Hah?! Kau! Kenapa kau masih di sini?”
Kevin membuka mulutnya perlahan seakan berkata ‘ah.. iya…’
Kevin berjalan melewatiku dan melihat sekeliling ruangan apartemennya dengan terkejut. Lalu menoleh ke arahku, berkedip dua kali, lalu membuang muka.
Dia berjalan mendekati pianonya. Aku berlari mendekatinya.
“Kau mau bermain piano?”
“Tidak. Hari ini aku sudah bermain piano selama seharian.”
Aku menghentakkan kaki, kesal. Lalu duduk diam di sofa.
“Kenapa kau masih di sini? Sana, cepat pulang. Aku sibuk, tidak bisa mengurusmu.”, ujar Kevin sambil duduk di kursi piano. Dia membuka penutup pianonya, mengeluarkan beberapa lembar kertas dari tasnya, dan meletakkan kertas-kertas itu di atas piano.
“Kau tidak tahu terima kasih!”, bentakku kesal. “Aku kan sudah membersihkan apartemenmu, kenapa tidak bilang terima kasih padaku atau paling tidak memberi aku makanan atau…”
“Aku sudah menampungmu selama dua hari. Siapa yang kurang berterima kasih?” Matanya menatap lurus wajahku dengan ekspresi dingin dan tajam.
Aku kalah. Tidak bisa membalas kata-katanya. Baiklah, aku akan pergi, walaupun aku tidak tahu kemana aku akan pergi.
Aku berdiri dari sofa.
“Baiklah.”, katanya kemudian. Aku menoleh padanya yang masih sibuk membaca-baca kertas-kertas musik itu. “Aku akan memainkan satu lagu untukmu, tapi setelah itu, kau harus pergi ya.”
Senyumku terkembang. Aku berlari mendekatinya.
Dia melihatku dari atas ke bawah dengan pandangan menyelidik. “Aku baru sadar, kau belum ganti baju dari hari pertama kita bertemu.”
Aku melihat ke diriku sendiri. Ah iya benar. Aku juga baru sadar. Dari kemarin-kemarin aku hanya memakai terusan putih polos berlengan sedang dengan panjang di bawah lutut.
“Ah, iya. Memangnya kenapa? Kau mau memberiku baju?”
Dia melengos. “Tidak!”
Aku berdiri di sampingnya. Dia masih sibuk membalik-balik kertasnya.
“Lagu ini aneh.”, gumamnya.
“Kenapa? Ada apa?”
“Aku tidak ingat pernah membuat lagu ini, tapi saat tadi aku coba memainkannya sepertinya lagu ini sudah lama ada di dalam ingatanku.”
“Kau yang membuat lagu ini?”
“Sepertinya. Lihat ini…” Dia menunjuk tulisan bawah judul lagu “Ada namaku kan? Biasanya aku menuliskan namaku dan tahun pembuatan di bawah judul lagu yang aku buat.”
Aku mengangguk-angguk mengerti.
Angel’s Serenade… Jadi lagu ini aku buat sepuluh tahun yang lalu? Kenapa aku tidak ingat sama sekali? Aku tidak menyangka sepuluh tahun lalu aku sudah bisa membuat lagu seperti ini.” Dia bergumam lagi.
“Kenapa tidak kau coba mainkan?”, usulku.
Dia membuka pianonya dan meletakkan jari-jarinya di atas tuts-tuts piano. Nada-nada itu mengalun menjadi sebuah melodi yang indah. Aku tersentak. Hatiku terasa sakit. Kepalaku rasanya berputar. Lagu ini. Melodi ini. Dimana aku pernah mendengarnya?
Aku menutup mataku. Bayangan-bayangan itu berkelebat dalam memoriku. Semakin lama melodi itu dimainkan semakin dalam kenangan-kenangan itu muncul dalam pikiranku.
Aku ingat. Aku ingat semuanya. Kenapa aku bisa terjatuh di sana malam itu, kenapa aku bertemu dengannya, kenapa aku ada di sini sekarang… Aku mencari lagu ini, mencari melodi ini… Melodi yang sudah lama tidak aku dengar... melodi yang sudah lama ingin aku dengar… Selain itu… Aku mencarinya, sang pembuat melodi ini… 

“Ayo pulang.” Sosok tinggi besar bercahaya putih itu menggandeng tanganku.
“Kapan aku bisa bertemu dengannya lagi?”
“Sepuluh tahun lagi.”
“Kalau begitu, sepuluh tahun lagi aku akan menemuinya.”
“Tapi, kalian akan saling melupakan satu sama lain.”
“Kenapa?”
“Karena inilah takdir kalian, kalian berbeda.”

Melodi itu berhenti. Kevin sudah selesai memainkan lagu itu. Aku jatuh terduduk. Punggungku terasa sakit. Aku mengerang kesakitan.
“Hey, kau kenapa?” Kevin menyentuh lenganku.
Punggungku semakin lama semakin sakit. Aku mengerang  semakin keras. Bertepatan dengan munculnya sepasang sayap putih besar dari punggungku. Tiba-tiba angin kencang berhembus dan sebuah cahaya putih menembus dari balik jendela. Kevin terpental jauh dariku. Kertas-kertas partitur musik itu bertebangan dan jatuh ke lantai. 
Cahaya putih itu melingkupiku, tubuhku terangkat ke udara.
Kevin memandangku dengan pandangan takjub dan kaget. Sebagian pikirannya terbang menuju hari itu. Kevin ingat semua. Kenapa dia suka melihat bintang-bintang di langit, kenapa dia merasa ada seseorang yang selalu dia tunggu, kenapa dia merasa ada seseorang yang dia lupakan, dan kenapa dia membuat melodi berjudul Angel’s Serenade.
“A-angel…” Kevin tergagap. “Kau… Angel…” Tangannya mencoba meraihku.
Aku mengulurkan kedua tanganku. Tapi, sejauh apapun aku mencoba menangkap tangannya, aku tidak bisa mendapatkannya.
Tubuhku melayang menembus jendela, terbang ke luar, ke udara lepas malam hari. 
“Angel…!!”, serunya dari balik jendela.
Cahaya putih semakin terang melingkupiku dan aku melayang semakin tinggi.
“Terima kasih, Kevin.” Aku tersenyum dan memandang wajahnya untuk yang terakhir kalinya.
Cahaya putih terang berpendar sekejap seperti kilat seiring hilangnya Kevin dari pandanganku.

***

“Kau aneh. Laguku tadi kan jelek.”, kata anak laki-laki itu saat keluar dari ruang kelas.
“Bagus kok! Terdengar seperti lagu surga”, sanggah gadis kecil itu.
“Lagu surga? Apa itu?”
Gadis kecil itu mengangkat bahunya, tanda dia juga tidak mengerti apa maksudnya.
“Kau bilang lagumu itu tadi belum selesai ya?”
“Iya.”
Gadis kecil itu berhenti di depan anak laki-laki itu. Anak laki-laki itu menghentikan langkahnya.
“Kalau begitu, kau harus segera menyelesaikan lagu itu. Kalau sudah selesai, kau harus memainkannya di hadapanku. Aku harus jadi orang pertama yang mendengarnya ya? Ya? Ya?”
Anak perempuan ini memaksa sekali, pikir anak laki-laki itu.
“Baiklah…” anak laki-laki itu berekspresi seperti setengah hati menyetujui usul si gadis kecil, padahal jauh di dalam hatinya dia merasa senang.
“Kau bukan murid les piano ini ya? Aku tidak pernah melihatmu.”, tanya anak laki-laki itu saat mereka berjalan di halaman gedung les piano.
“Aku hanya sedang berjalan-jalan di daerah sini dan mendengar suara piano.”
Anak laki-laki itu diam-diam melirik gadis kecil berbaju putih panjang yang berjalan di sebelahnya itu. Senyumnya terkembang tipis.
 “Siapa namamu?”, tanya gadis kecil itu saat mereka hampir sampai di gerbang gedung les piano.
Anak laki-laki itu menghentikan langkahnya saat mereka sampai di gerbang dan memandang wajah gadis kecil yang berdiri di hadapannya.
“ Kevin. Kau?”
“Angel.” Gadis kecil itu tersenyum manis.




The End



-ultrautogia-

Wednesday, July 10, 2013

Malam Ini Untuknya dan Besok Malam Untukmu.


Gadis itu menangis di dalam kamarnya seorang diri. Aku berjalan menghampirinya dan duduk di dekatnya dalam diam. 
"Maafkan aku."
Gadis itu menangis semakin kencang. 
"Maaf, aku tidak bisa seterusnya di sisimu. Aku menyukaimu. Aku sangat menyukaimu. Tapi aku..."
Dia memandangku dengan mata sembabnya. 
"Kamu jahat. Kenapa kamu tega sama aku?" Airmatanya menetes. "Kamu pergi kemana aja?"
"Ah... aku pergi ke rumahnya... Begini... Aku tidak bisa selamanya bersamamu. Karena itu aku..." 
Gadis itu memelukku. "Aku mencarimu kemana-mana. Jangan pergi lagi ya." 
Aku diam dalam pelukannya. 
Dia memelukku semakin erat. 
"Maaf...", kataku kemudian. "Aku menyukaimu, tapi aku juga menyukainya. Aku tidak bisa membohongi hatiku." 
Aku meronta dan melepaskan pelukan darinya. 
"Kamu mau kemana?", teriaknya. 
Aku berlari dan melompat dari jendela kamarnya. 
"Aku harus pergi menemuinya malam ini. Besok malam aku akan menemuimu lagi."
"Jangan pergi!!", teriaknya semakin kencang saat aku berjalan semakin jauh. "Manis, jangan tinggalkan aku!" 
"Aku tidak meninggalkanmu!!", balasku berteriak lebih kencang darinya. Tapi baginya suara yang sedari tadi keluar dari mulutku hanyalah terdengar "Meong meong meong meong meong" saja. 
Aku menghela nafas panjang lalu menghilang dalam kegelapan malam. 


-ultrautogia- 
FF2in1

Kau adalah Telinga dan Tembokku.


Kau adalah telinga. Telinga yang mendengarkanku. 
Begitulah kalimat yang meluncur dari mulutnya. Aku masih sangat muda. Tidak tahu apa maksudnya. Tapi, aku senang. Aku senang dia selalu berbicara denganku. Aku senang dia selalu mencariku. Aku senang dia membutuhkanku. Aku yang selalu merasa tersesat di dunia ini bagaikan seekor kucing liar di pinggir jalan, hanya dia yang menemukanku, hanya dia yang mau memungutku, hanya dia yang mau datang padaku. 
Aku sangat bahagia. Pada saat itu. 
Kau adalah tembok. Tembok yang mendengarkanku.  
Pepatah cina mengatakan bahwa jika kamu tidak punya seseorang yang bisa kamu ajak bicara, berbicaralah pada tembok, tembok pasti mendengarkanmu. 
Begitulah kalimat yang keluar dari bibirnya. Aku tertegun. Aku selalu mendengarkannya. Mendengarkan ceritanya tentang wanita itu. Setiap hari. Setiap malam. Setiap saat. Kapanpun dia mau. Aku selalu ada untuknya. Apa dia tahu itu menyakitkan bagiku? Aku memang tidak boleh berbicara. Aku hanya mendengar. Tapi, hal ini lama-lama menyakitkan untukku. Apa tidak bisa sekali saja dia mendengar ceritaku? Aku juga ingin bercerita tentangku. Tentang aku dan dia. 
Tak sedetikpun dia membiarkanku berbicara. 
Tetap saja aku hanya telinga dan tembok untuknya. 
Meskipun dia menemukanku. Dia menyelamatkanku dari dunia yang sesat ini. Aku tidak mau hanya menjadi telinga dan temboknya. 
"Selamat tinggal.", kataku padanya malam itu. 
Keesokan harinya, dia kehilangan telinga dan temboknya. Sejak saat itu, dia tidak bisa berbicara pada siapapun. Sejak saat itu, aku adalah masalah terbesar dalam hidupnya yang tidak pernah dia ceritakan pada siapapun. 



-ultrautogia- 

FF2in1