Saturday, July 27, 2013

Sebuah Penantian



Aku berlari. Setiap pagi. Di jalan yang sama. Mencari dan menunggu. Tapi, dia tak kunjung tiba. Aku masih berlari setiap pagi. Entah di jalan yang sama atau di jalan yang berbeda. Aku hanya ingin berlari, mencari, dan menunggunya sampai kembali.
***
Pagi itu, seperti biasa aku mengikat tali sepatu joggingku.
“Mau jogging lagi?”, tanya ibu.
“Iya”, jawabku sambil mengikat tali sepatu kanan.
“Tapi ini hari terakhir kamu di sini, apa nanti keburu ke bandara?”
“Aku udah packing kok bu, nanti tinggal mandi, sarapan, terus berangkat.”, jawabku sambil berjalan keluar rumah. “Jogging dulu ya bu!”
Blam! Aku menutup pintu di belakangku.
Kakiku melangkah menyusuri gang-gang kompleks ini. Aku sudah sangat hapal jalan-jalan disini. Tentu saja, setiap hari aku selalu jogging memutari kompleks ini. Tapi, setiap melewati rumah itu, kakiku selalu terasa berat. Sebuah rumah sederhana berlantai dua dengan cat kuning yang sudah mulai luntur. Aku berhenti di depan rumah itu. Menatap sebuah jendela di ujung kanan lantai dua. Selalu tertutup gorden putih. Hari ini pun jendelanya tidak dibuka dan gordennya masih menutup.
***
Aku berlari-lari kecil meninggalkan rumah itu. Di sebelahku seorang laki-laki seusiaku berlari mengiringiku. Wajah yang sangat aku kenal. Wajah yang sangat aku suka. Aku tersenyum melihat wajahnya saat berlari, selalu terlihat serius. Dahinya berkerut-kerut dan bibirnya menggumamkan sesuatu. Entah apa yang ada di pikirannya. Aku tidak pernah sekalipun menanyakannya. Tapi, aku sangat suka mendengar suara gumamannya. Walaupun aku tidak pernah tahu apa yang digumamkannya. Kami berlari mengelilingi kompleks. Melewati lapangan sepakbola di ujung kompleks dan sesekali kami berhenti untuk melihat beberapa anak-anak SD bermain sepakbola atau olahraga yang lain. Lalu, kami tertawa melihat kelucuan anak-anak itu. Setelah itu kami berlari lagi melewati warung penjual minuman. Kami berhenti dan membeli minuman di warung itu.
Pluk ! Dia memukul kepalaku dengan botol minumnya.
“Aduh ! Sakit !”, erangku.
“Jangan minum minuman dingin !”, ujarnya.
“Memangnya kenapa?”, tanyaku sambil mengelus-elus kepalaku.
“Minuman dingin itu tidak bagus untuk orang yang habis olahraga. Minum air putih biasa saja.”
Aku menuruti kata-katanya dan mengambil air putih biasa. Dia berlari lagi dan aku mengejar di belakangnya. Ya, aku selalu mengejarnya. Berlari di belakangnya adalah hal yang paling aku suka. Melihat punggungnya atau rambutnya atau kakinya saat berlari membuatku sangat bersemangat untuk berlari setiap pagi.
Kami melewati sebuah taman bermain yang letaknya sekitar satu kilometer dari rumah kami. Kami selalu menyempatkan untuk bermain di taman itu. Hanya sekedar duduk-duduk atau main ayunan. Dia mendorong ayunan merah tua yang aku duduki. Aku suka hembusan angin di atas ayunan ini. Aku suka karena dia yang membuatku bisa merasakan angin sejuk di pagi hari.
***
Aku masih duduk di ayunan merah tua itu. Deraknya terdengar sangat kencang padahal aku tidak mengayun dan dia juga tidak mendorongnya. Ayunan ini sudah sangat tua dan taman ini juga tampak sangat kusam. Aku melihat sekeliling taman. Hanya aku sendiri disini. Dia tidak ada. Waktu itu dia bilang hanya akan pergi sebentar saja. Tapi, sampai sekarang dia tidak kembali. Ya, 20 tahun sudah berlalu sejak hari itu. Aku tidak akan pernah lupa saat di taman ini dia berkata bahwa setelah lulus SMA dia akan pergi ke luar kota untuk kuliah, bekerja, dan pasti akan kembali untukku. Dia memintaku untuk menunggunya. Ya, aku menunggunya selama 20 tahun. Dan dia tidak kunjung kembali.
“Thessa?”
Seseorang menyadarkanku dari lamunan singkat di atas ayunan. Aku tercekat. Wajah itu tampak tidak asing.
“Kamu beneran thessa?”
Bibirku kelu. Apakah penantianku selama 20 tahun akan berhenti di sini?
“Iya...” Suaraku bergetar. “Ra…Rado?”
Rado tersenyum. Senyum yang sama. Mata yang sama. Wajah yang sama.
“Aku tadi melihat seseorang berlari di depan rumahku, aku pikir itu kamu dan ternyata benar.”
Bahkan suaranya juga sama. Semuanya sama. Hanya saja dia tampak agak berkeriput dan rambutnya terlihat lebih rapi, tidak seberantakan dulu.
“Apa kabar? Kenapa kamu di sini?”, tanyanya.
Pertanyaan itu menggantung di langit-langit pikiranku. Kenapa dia menanyakan hal itu padaku? Bukankah seharusnya aku yang menanyakan hal itu padanya?
“Aku…”
“Mama! ayo pulang!”, seorang anak perempuan berusia sekitar 12 tahun berjalan menghampiriku. “Mama, aline cariin dari tadi ternyata di sini, papa udah marah-marah loh ! Nanti kita ketinggalan pesawat!”
Aku dan Rado menoleh ke arah anak perempuan itu. Wajahku mengeras. Seakan sebuah realita demi realita menghampiriku dalam sebuah bayangan masa lalu.
“Hmm…kenalkan… ini anakku, Aline. Aline… kenalkan… ini temen mama, Om Rado.”, kataku terbata-bata.
Aline mengulurkan tangannya sambil menyebutkan namanya. Rado menyambut tangan Aline sambil tersenyum tipis.
“Ya udah, aline pulang dulu ma. Mama cepet pulang ya. Nanti ketinggalan pesawat loh!”
Aline berlari meninggalkan aku dan Rado.
Aku dan Rado berpandangan cukup lama dalam diam.
“Hari ini...”, aku memecah keheningan. “Hari ini, aku, suamiku, dan anakku akan berangkat ke luar negeri karena itu seminggu ini aku tinggal di rumah ibu untuk berpamitan.”
Rado masih diam lalu tersenyum lebar.
Sesaat kemudian, kami berjalan bersama meninggalkan taman bermain menuju rumah masing-masing sambil menceritakan serpihan kecil kenangan masa lalu. Kami tertawa lepas. Penantianku berakhir sudah.



-ultrautogia-
for : yys


No comments:

Post a Comment