Aku
berlari. Setiap pagi. Di jalan yang sama. Mencari dan menunggu. Tapi, dia tak
kunjung tiba. Aku masih berlari setiap pagi. Entah di jalan yang sama atau di
jalan yang berbeda. Aku hanya ingin berlari, mencari, dan menunggunya sampai kembali.
***
Pagi
itu, seperti biasa aku mengikat tali sepatu joggingku.
“Mau
jogging lagi?”, tanya ibu.
“Iya”,
jawabku sambil mengikat tali sepatu kanan.
“Tapi
ini hari terakhir kamu di sini, apa nanti keburu ke bandara?”
“Aku
udah packing kok bu, nanti tinggal mandi, sarapan, terus berangkat.”, jawabku sambil
berjalan keluar rumah. “Jogging dulu ya bu!”
Blam!
Aku menutup pintu di belakangku.
Kakiku
melangkah menyusuri gang-gang kompleks ini. Aku sudah sangat hapal jalan-jalan
disini. Tentu saja, setiap hari aku selalu jogging memutari kompleks ini. Tapi,
setiap melewati rumah itu, kakiku selalu terasa berat. Sebuah rumah sederhana
berlantai dua dengan cat kuning yang sudah mulai luntur. Aku berhenti di depan
rumah itu. Menatap sebuah jendela di ujung kanan lantai dua. Selalu tertutup
gorden putih. Hari ini pun jendelanya tidak dibuka dan gordennya masih menutup.
***
Aku
berlari-lari kecil meninggalkan rumah itu. Di sebelahku seorang laki-laki
seusiaku berlari mengiringiku. Wajah yang sangat aku kenal. Wajah yang sangat
aku suka. Aku tersenyum melihat wajahnya saat berlari, selalu terlihat serius.
Dahinya berkerut-kerut dan bibirnya menggumamkan sesuatu. Entah apa yang ada di
pikirannya. Aku tidak pernah sekalipun menanyakannya. Tapi, aku sangat suka mendengar
suara gumamannya. Walaupun aku tidak pernah tahu apa yang digumamkannya. Kami
berlari mengelilingi kompleks. Melewati lapangan sepakbola di ujung kompleks
dan sesekali kami berhenti untuk melihat beberapa anak-anak SD bermain
sepakbola atau olahraga yang lain. Lalu, kami tertawa melihat kelucuan
anak-anak itu. Setelah itu kami berlari lagi melewati warung penjual minuman.
Kami berhenti dan membeli minuman di warung itu.
Pluk
! Dia memukul kepalaku dengan botol minumnya.
“Aduh
! Sakit !”, erangku.
“Jangan
minum minuman dingin !”, ujarnya.
“Memangnya
kenapa?”, tanyaku sambil mengelus-elus kepalaku.
“Minuman
dingin itu tidak bagus untuk orang yang habis olahraga. Minum air putih biasa
saja.”
Aku
menuruti kata-katanya dan mengambil air putih biasa. Dia berlari lagi dan aku
mengejar di belakangnya. Ya, aku selalu mengejarnya. Berlari di belakangnya
adalah hal yang paling aku suka. Melihat punggungnya atau rambutnya atau
kakinya saat berlari membuatku sangat bersemangat untuk berlari setiap pagi.
Kami
melewati sebuah taman bermain yang letaknya sekitar satu kilometer dari rumah
kami. Kami selalu menyempatkan untuk bermain di taman itu. Hanya sekedar
duduk-duduk atau main ayunan. Dia mendorong ayunan merah tua yang aku duduki.
Aku suka hembusan angin di atas ayunan ini. Aku suka karena dia yang membuatku
bisa merasakan angin sejuk di pagi hari.
***
Aku
masih duduk di ayunan merah tua itu. Deraknya terdengar sangat kencang padahal
aku tidak mengayun dan dia juga tidak mendorongnya. Ayunan ini sudah sangat tua
dan taman ini juga tampak sangat kusam. Aku melihat sekeliling taman. Hanya aku
sendiri disini. Dia tidak ada. Waktu itu dia bilang hanya akan pergi sebentar
saja. Tapi, sampai sekarang dia tidak kembali. Ya, 20 tahun sudah berlalu sejak
hari itu. Aku tidak akan pernah lupa saat di taman ini dia berkata bahwa
setelah lulus SMA dia akan pergi ke luar kota untuk kuliah, bekerja, dan pasti
akan kembali untukku. Dia memintaku untuk menunggunya. Ya, aku menunggunya selama
20 tahun. Dan dia tidak kunjung kembali.
“Thessa?”
Seseorang
menyadarkanku dari lamunan singkat di atas ayunan. Aku tercekat. Wajah itu
tampak tidak asing.
“Kamu
beneran thessa?”
Bibirku
kelu. Apakah penantianku selama 20 tahun akan berhenti di sini?
“Iya...”
Suaraku bergetar. “Ra…Rado?”
Rado
tersenyum. Senyum yang sama. Mata yang sama. Wajah yang sama.
“Aku
tadi melihat seseorang berlari di depan rumahku, aku pikir itu kamu dan
ternyata benar.”
Bahkan
suaranya juga sama. Semuanya sama. Hanya saja dia tampak agak berkeriput dan rambutnya
terlihat lebih rapi, tidak seberantakan dulu.
“Apa
kabar? Kenapa kamu di sini?”, tanyanya.
Pertanyaan
itu menggantung di langit-langit pikiranku. Kenapa dia menanyakan hal itu
padaku? Bukankah seharusnya aku yang menanyakan hal itu padanya?
“Aku…”
“Mama!
ayo pulang!”, seorang anak perempuan berusia sekitar 12 tahun berjalan
menghampiriku. “Mama, aline cariin dari tadi ternyata di sini, papa udah
marah-marah loh ! Nanti kita ketinggalan pesawat!”
Aku
dan Rado menoleh ke arah anak perempuan itu. Wajahku mengeras. Seakan sebuah
realita demi realita menghampiriku dalam sebuah bayangan masa lalu.
“Hmm…kenalkan…
ini anakku, Aline. Aline… kenalkan… ini temen mama, Om Rado.”, kataku
terbata-bata.
Aline
mengulurkan tangannya sambil menyebutkan namanya. Rado menyambut tangan Aline
sambil tersenyum tipis.
“Ya
udah, aline pulang dulu ma. Mama cepet pulang ya. Nanti ketinggalan pesawat
loh!”
Aline
berlari meninggalkan aku dan Rado.
Aku
dan Rado berpandangan cukup lama dalam diam.
“Hari
ini...”, aku memecah keheningan. “Hari ini, aku, suamiku, dan anakku akan
berangkat ke luar negeri karena itu seminggu ini aku tinggal di rumah ibu untuk
berpamitan.”
Rado
masih diam lalu tersenyum lebar.
Sesaat
kemudian, kami berjalan bersama meninggalkan taman bermain menuju rumah
masing-masing sambil menceritakan serpihan kecil kenangan masa lalu. Kami
tertawa lepas. Penantianku berakhir sudah.
-ultrautogia-
for : yys
No comments:
Post a Comment