Plok ! Plok ! Plok !
Suara tepuk tangan menggema ke
seluruh ruangan kelas yang sepi itu. Gadis kecil itu masih bersemangat bertepuk
tangan seorang diri di ujung pintu kelas. Anak laki-laki yang baru saja selesai
memainkan piano itu terperanjat dan melongo bingung melihat reaksi gadis kecil
itu.
“Bagus! Bagus sekali!” Akhirnya
gadis kecil itu berjalan masuk ke kelas dan mendekati anak laki-laki itu.
Anak laki-laki itu menaikkan
alisnya, bertanya-tanya, siapakah anak perempuan ini?
“Lagu apa itu tadi?”
“Tidak tahu.”, jawab anak
laki-laki itu singkat. Matanya masih memandang penuh selidik pada gadis kecil
itu.
“Ha? Kau tidak tahu lagunya tapi
bisa memainkannya?”
“Tidak tahu. Karena aku baru saja
membuatnya…”
“Apa? Kau yang membuat lagu itu
tadi?” Mata gadis kecil itu tampak berbinar-binar.
“Iya, tapi belum selesai dan…”
“Bagus sekali! Mainkan sekali
lagi!” Pintanya penuh semangat.
“Kau mau mendengarnya lagi?”
Wajah anak laki-laki itu tampak bingung.
“Hm! Tentu saja!”
***
BRAKK!! BRAKK!! BRAKK!!
Aku meringkuk sambil menutupi
kepala dengan kedua lenganku. Suara-suara kayu yang berjatuhan itu masih jelas
terdengar. Aku tidak tahu bagaimana ceritanya papan-papan kayu itu berjatuhan,
yang aku ingat, aku sudah meringkuk di dekat sebuah tempat yang banyak sekali
kayu-kayunya. Beberapa menit kemudian, kayu-kayu itu sudah berhenti bergerak,
berhenti berjatuhan, dan berhenti berbunyi. Punggungku terasa sakit, pasti
karena kejatuhan salah satu papan kayu itu. Aku masih menutup mataku tidak
berani melihat sekelilingku.
“Kau tidak apa-apa?”, tanya
seseorang.
Aku menurunkan lengan dari
kepalaku dan membuka mataku.
“Kau tidak apa-apa?”, tanyanya
lagi sambil mengulurkan tangannya.
Lampu yang remang-remang membuat
wajahnya tidak tampak jelas.
“Ah…I-Iya…” Aku menyambut uluran
tangannya. Lalu mencoba untuk berdiri.
Punggungku terasa nyeri saat dia
menarik tanganku. Pasti papan kayu itu sangat keras menghantam punggungku tadi.
Aku berhasil berdiri di hadapannya tapi aku masih belum bisa melihat wajahnya karena
tinggiku hanya sedadanya dan saat ini yang ada di hadapanku bukanlah wajahnya,
melainkan dadanya yang bidang.
“AH!!”, jawabku kaget sambil
mundur beberapa langkah saat aku tersadar telah memandangi dadanya selama
beberapa saat.
“Kenapa? Apa kau terluka?”
Sekarang aku bisa melihat wajahnya. Wajah yang tampak bersinar seperti
malaikat.
“Pu-Punggungku… Sepertinya kayu
itu mengenai punggungku…”, jawabku sambil terus menatap matanya.
“Oh ya? Mana mungkin? Kayu-kayu
yang jatuh kan ada di sebelah sana…”, tunjuknya pada sebuah tempat di
belakangku.
Aku membalikkan tubuhku
cepat-cepat. Sekitar lima meter dari tempatku berdiri, ada setumpuk papan kayu
yang sepertinya berjatuhan dari konstruksi gedung yang belum jadi. Aku tidak
percaya dengan hal yang baru saja aku lihat. Kayu-kayu itu tadi benar-benar
berjatuhan di dekatku, kenapa bisa ada di sana?
“Kau… Kenapa kau bisa ada di
sini? Apa yang kau lakukan di sini?”
Aku membalikkan tubuhku padanya.
Kepalaku terasa sakit sekali. Semuanya aneh. Aku tidak tahu. Aku tidak ingat
apa-apa.
“Hey? Kenapa kau diam saja?
Dimana rumahmu? Sepertinya kau masih sekolah ya? Masih SMA ya? Atau SMP? Kenapa
masih di luar jam segini? Sebaiknya kau segera pulang.”
Aku memegangi kepalaku. Rasanya
berat sekali. Badanku lemas. Ada apa ini?
“Kepalaku...” Sebelum aku sempat
melanjutkan kata-kataku, semua menjadi gelap.
***
Aku melayang dalam awan-awan dan
terbang bersama angin. Aku mendengar melodi yang indah. Sebuah lagu yang sudah
lama sekali tidak aku dengar. Aku berlari, melompat, dan menari mengikuti
melodi itu. Tiba-tiba saja lagu itu terhenti. Aku mencari dan terus mencari
melodi itu. Namun, aku tidak pernah menemukannya.
Aku membuka mataku. Samar-samar
aku melihat bintang-bintang berwarna hijau menempel pada sebuah benda berwarna
putih. Aku mengernyitkan dahiku.
“Oh, kau sudah bangun?” Terdengar
suara seseorang dari kejauhan.
Aku menoleh ke asal suara. Aku
terperanjat. Hampir saja terjatuh dari tempat tidur serba putih ini.
“Kau…”, suaraku kelu.
“Maaf, kau pasti kaget. Semalam
kau pingsan, aku tidak tahu ke mana harus membawamu, jadi aku membawamu ke
apartemenku.” Dia berjalan mendekati kasur.
“Lagipula, apartemenku dekat
sekali dengan tempat konstruksi bangunan jadi aku pikir akan lebih cepat kalau
membawamu ke sini.” Sekarang dia sudah berdiri di depan kasur.
Aku meremas selimut putih di atas
kasur sambil menutupkan selimut itu pada separuh wajahku.
“Hahaha… Tenang saja… Aku tidak
berbuat hal yang aneh-aneh padamu.”
Aku tidak bergerak sedikit pun. Mataku
menatapnya dengan tatapan curiga.
“Be-benar… Aku tidak bohong…
Semalam aku tidur di sofa itu…” Tunjuknya pada sofa yang ada di luar kamar dan
memang letak sofa itu berhadapan dengan pintu kamar.
Aku masih tidak bergerak.
“Ya sudah kalau kau tidak percaya!”
Dia membalikkan badannya. “Aku harus pergi ke kampus. Kau juga harus pulang dan
pergi ke sekolah kan! Sana cepat pulang!”
Perlahan-lahan aku turun dari
kasur dan berjalan sambil melihat ke sekeliling ruangan.
“Itu!”, tunjukku pada sebuah
benda yang terletak di tengah ruangan. Aku mendekati benda itu.
Dia menoleh. “Kau bisa
memainkannya?”
Aku menggeleng pelan. “Kau bisa
memainkannya?”, tanyaku balik.
“Tentu saja aku bisa, kalau aku
tidak bisa memainkan piano, untuk apa aku mempunyai piano di apartemenku yang
sempit ini?”
“Ah…” Aku mengangguk sambil
tersenyum senang.
Aku membuka penutup piano dan
menekan salah satu tutsnya.
Ding! Seperti itulah bunyinya.
Suara piano, suara ini, suara
yang sudah lama aku rindukan. Aku ingin mendengarnya lagi.
“Kau mau memainkan piano ini?” Sebuah
senyum penuh semangat tersungging di wajahku berharap dia akan memainkan piano
ini.
Dia menghela nafas pendek.
“Maaf, bukannya aku tidak mau
main piano, tapi aku sudah terlambat, aku ada kelas pagi dan kau juga harus
pulang kan? Kau juga harus pergi ke sekolah? Jangan-jangan kau berniat
membolos?”, elaknya sambil menyambar tasnya.
Aku mengernyitkan dahiku.
Bingung.
Dia membuka pintu apartemennya
lebar-lebar lalu berdiri di depan pintu apartemen sambil terus memegang gagang
pintunya.
Aku berjalan pelan keluar dari
apartemennya. Menunggunya mengunci pintu apartemen.
“Sudah ya, aku berangkat dulu,
aku sudah terlambat. Kau harus cepat-cepat berangkat juga.” Dia berlari
meninggalkanku.
“A…” Sebelum aku sempat mengeluarkan
kata-kataku, sosoknya sudah menghilang berlari menuruni anak-anak tangga di
apartemen.
Aku berjalan bolak-balik di depan
pintu apartemennya. Matahari sudah hampir terbenam tapi dia tidak pulang-pulang
juga. Kakiku juga capek dari tadi mondar-mandi seperti ini. Aku duduk sambil
meluruskan kakiku di depan pintu apartemennya. Entah detik yang ke berapa,
akhirnya aku jatuh tertidur.
Sore itu, melodi indah itu
mengalun. Mengantarku pada tempat-tempat tak terduga. Membawaku pada
momen-momen tak terlupakan. Aku ingin menyimpannya. Aku ingin memilikinya. Aku
ingin selalu bersamanya. Lagu itu… melodi itu…
Sebuah benda yang keras
menusuk-nusuk pipiku. Aku terbangun kaget. Wajahnya sangat dekat sekali dengan
wajahku. Jari telunjuknya menempel di pipiku.
“Kenapa kau masih ada di sini?”,
tanyanya.
Aku berdiri cepat-cepat sambil
merapikan rambutku yang sudah berantakan bentuknya.
Dia berdiri lalu memasukkan kunci
ke dalam slot pintu. Cekrek! Pintu terbuka lalu dia segera masuk ke dalam
apartemennya. Aku berdiri mematung di depan apartemennya. Dia membalikkan
badannya.
“Mau masuk?”, tanyanya.
Aku mengangguk-angguk cepat
sambil tersenyum lebar.
Dia menyeringai lalu menutup
pintu apartemennya tepat di depan wajahku. Meninggalkanku seorang diri di luar
apartemen.
Jam demi jam berlalu, bulan sudah
meninggi di atas awan, dan aku masih duduk menghadap pintu apartemen itu
berharap kalau saja dia akan membukakan pintu untukku. Aku tidak berani
mengetuk pintunya ataupun memanggil-manggil namanya. Aku juga baru ingat kalau
aku tidak tahu nama orang itu. Tidak berapa lama terdengar suara piano mengalun
dari dalam apartemennya. Lagu yang tidak aku kenal tapi terdengar indah. Aku
berdiri mendekati pintu, ingin sekali aku mengetuk pintu itu, melihatnya
bermain piano, mendengar lagu yang dimainkannya dengan lebih jelas, tapi aku
sangat takut. Akhirnya, aku duduk lagi menghadap ke pintu apartemen sambil
mendengarkan alunan piano yang dimainkannya.
Beberapa menit kemudian dia
berhenti memainkan pianonya. Aku masih duduk meringkuk. Sekarang, aku tidak
berharap dia membukakan pintu untukku, aku hanya berharap dia terus memainkan
pianonya saja.
Tiba-tiba saja pintu terbuka. Sosoknya
yang tinggi menjulang dengan sorotan mata tajam menatapku dengan pandangan
kesal.
Dia menghela nafas pendek. “Sudah
kuduga kau masih di sini.”
Posisi dudukku masih tidak
berubah. Duduk meringkuk sambil memeluk kedua kakiku.
“Kau bodoh ya? Di luar dingin
sekali! Ayo cepat masuk!”, perintahnya ketus.
Aku segera melompat berdiri
sambil tersenyum senang. “Aku boleh masuk?”
Dia memicingkan matanya. Aku
segera berlari masuk ke dalam apartemennya dan menuju piano di tengah ruangan.
“Kau mau memainkan ini lagi?”,
tanyaku saat dia berjalan ke dapur yang letaknya di depan piano.
“TIdak. Aku baru saja memainkannya.”
Aku mengerucutkan bibirku, kesal.
“Kau sudah makan? Mau minum apa?”
Aku membanting tubuhku ke atas
sofa. “Terserah saja.”
Dia tampak sibuk di dapur
menyiapkan makanan dan minuman untukku. Aku masih memandangi piano itu dengan
penuh penasaran. Aku ingin sekali mendengar suara piano itu lagi.
Dia membanting piring dan gelas
yang berisi makanan dan minuman yang tidak aku tahu apa namanya ke atas meja
lalu duduk di sebelahku. Aku melihatnya dengan pandangan takut.
“Setelah makan dan minum ini, kau
harus pulang!”, katanya tegas.
“Eee… Itu… Sebenarnya… Aku tidak
punya rumah. Maksudku, aku tidak ingat rumahku dimana… Sebenarnya semalam aku
juga tidak ingat apa yang terjadi padaku…”
Dia memicingkan matanya.
Memandangku penuh selidik, penuh kecurigaan.
“Jangan bercanda! Jangan
membodohiku! Jangan menipuku! Kau pasti anak SMA yang melarikan diri dari rumah
lalu berpura-pura amnesia supaya aku mau menampungmu kan? Atau kau sebenarnya
adalah stalker-ku yang berpura-pura amnesia supaya bisa tinggal bersamaku?”
Aku mengernyitkan dahiku. Semakin
bingung. Apa yang orang ini pikirkan?
“Kau ini bicara apa sih? Aku
tidak mengerti. Terserah kau mau percaya atau tidak, tapi aku benar-benar tidak
ingat apapun!”
Dia mendengus kesal. “Aku akan
melaporkanmu pada polisi. Siapa namamu? Dimana rumahmu? Apa yang kau lakukan di
konstruksi bangunan semalam? Apa kau melarikan diri? Apa kau buronan? Apa kau
penjahat? Pembunuh? Orang gila yang melarikan diri dari rumah sakit jiwa?”
“Aku tidak tahu, tidak ingat,
sudah kubilang kan!!”
Dia berdiri lalu berjalan menuju
kamarnya. Dia berdiam diri lama sekali di dalam kamarnya. Aku memutuskan untuk
memakan makanan yang ada di atas meja. Saat aku sudah selesai makan dan mencuci
piring dan gelas, dia baru keluar dari kamarnya.
“Baiklah.”, ujarnya yakin. “Kau
boleh tinggal di sini. Semalam saja. Besok kau harus pulang atau aku akan
membawamu ke kantor polisi.”
“Hm!” Aku mengangguk kencang dan
tersenyum senang.
“Malam ini, kau bisa tidur di
kamarku, aku akan tidur di sofa.”
“Hm! Hm!” Aku mengangguk makin
kencang dan tersenyum makin senang.
“Ck!” Dia mendecak kesal kemudian
masuk ke dalam kamar lagi. Tiba-tiba dia keluar membawa sebuah selimut yang
sangat tebal.
“Cepat tidur. Aku akan mematikan
semua lampu.”, katanya sambil meletakkan selimut itu ke atas sofa.
Aku segera berlari menuju
kamarnya. Dia mematikan lampunya. Ruangan menjadi sangat gelap. Namun, aku baru
sadar, ternyata ruangan ini tidak sepenuhnya gelap. Di seluruh langit-langit
apartemen ini sudah ditempeli bintang-bintang yang hanya bisa bercahaya saat
ruangan gelap total.
“Wah... Apa itu?”, tanyaku kagum.
Aku sengaja membuka pintu kamar supaya bisa berbicara dengannya.
“Bintang fosfor.”
“Kenapa kau menempelkan
bintang-bintang itu?”
“Aku suka melihat bintang. Saat
aku melihat bintang di langit, aku merasa seseorang yang aku tunggu ada di atas
sana, seseorang yang mungkin aku lupakan.”
“Siapa?”, tanyaku penasaran. “Siapa
yang kau tunggu? Siapa orang yang kau lupakan itu?”
“Aku tidak tahu. Aku hanya merasa
seperti itu saja. Aku merasa seperti sedang menunggu seseorang, tapi aku tidak
tahu siapa yang aku tunggu, mungkin saja orang yang aku lupakan, atau mungkin
saja sebenarnya aku tidak menunggu siapapun.”
“Hah? Kau kena amnesia ya?”,
ledekku.
“Ck!! Sudahlah! Aku tidak mau
berbicara lagi denganmu!”, jawabnya kesal.
Aku terkikik kecil.
Ruangan ini sangat gelap. Aku
tidak bisa melihat wajahnya. Ekspresi apa yang dia perlihatkan saat aku
meledeknya atau saat dia menceritakan tentang bintang-bintang itu padaku, aku
tidak tahu. Hanya bintang-bintang fosfor yang berpendar itu saja yang bisa aku
lihat di seluruh ruangan ini.
Setelah itu, kami terdiam cukup
lama.
“Hey,” panggilku lagi “kau sudah
tidur?”
“Tadi hampir tertidur, tapi
karena kau memanggilku aku jadi bangun lagi.”
“Oh…”
Kami terdiam lagi.
“Ada apa?”, tanyanya memecah
keheningan.
“Siapa namamu?” aku balik
bertanya.
Dia terdiam sepersekian detik
sebelum akhirnya menjawab. “Kevin.”
“Hhh… senangnya bisa ingat nama
diri sendiri… Kevin ya? Jadi aku bisa memanggilmu Kevin kan?”
“Anonim.”, cetusnya “Aku akan
memanggilmu anonim.”
“Hah?”, seruku bingung.
“Karena kau tidak punya nama,
makanya kau pantas disebut anonim.”
“Hah???”, seruku lebih keras.
“Baiklah! Selamat tidur, anonim!”
“Hah???”, seruku makin keras.
Tidak ada reaksi darinya.
Lima belas detik. Tiga puluh
detik. Enam puluh detik. Masih tidak ada reaksi darinya. Sepertinya dia
benar-benar tertidur.
“Selamat tidur, Kevin.”
***
Aku menggeliat di atas kasur. Di
luar kamar terdengar bunyi-bunyi aneh. Aku berjalan keluar kamar sambil
mengucek mataku dan sesekali menguap. Kevin tampak sibuk memulai pagi harinya.
Dia berlari ke sana-sini dan menjatuhkan beberapa barang-barang. Lalu berlari
keluar apartemen dan mengunci pintu apartemen dari luar. Dia bahkan tidak
sempat mengucapkan selamat pagi padaku ataupun mengusirku dari apartemennya.
Mungkin, dia lupa tentang keberadaanku di rumah ini atau memang benar-benar
sedang terburu-buru. Yang jelas, saat apartemen ini ditinggalkannya, keadaannya
sudah seperti rumah yang terkena gempa bumi.
“Harus dimulai dari mana ini?”,
gumamku saat berniat membereskan kerusuhan di apartemen.
Matahari sudah terbenam saat aku
selesai membersihkan seluruh isi apartemen ini. Aku tidak menyangka ternyata
bersih-bersih seperti ini membutuhkan waktu yang sangat lama dan sangat
melelahkan. Aku merebahkan tubuhku di atas kasur sambil melihat bintang-bintang
di langit kamar.
“Orang yang dia tunggu? Orang
yang dia lupakan? Orang yang seperti apa ya?”, gumamku.
Tiba-tiba pintu apartemen
terbuka. Aku segera berlari keluar kamar dan menyambutnya.
“Selamat datang.”
“Hah?! Kau! Kenapa kau masih di
sini?”
Kevin membuka mulutnya perlahan
seakan berkata ‘ah.. iya…’
Kevin berjalan melewatiku dan
melihat sekeliling ruangan apartemennya dengan terkejut. Lalu menoleh ke
arahku, berkedip dua kali, lalu membuang muka.
Dia berjalan mendekati pianonya.
Aku berlari mendekatinya.
“Kau mau bermain piano?”
“Tidak. Hari ini aku sudah
bermain piano selama seharian.”
Aku menghentakkan kaki, kesal. Lalu
duduk diam di sofa.
“Kenapa kau masih di sini? Sana,
cepat pulang. Aku sibuk, tidak bisa mengurusmu.”, ujar Kevin sambil duduk di
kursi piano. Dia membuka penutup pianonya, mengeluarkan beberapa lembar kertas
dari tasnya, dan meletakkan kertas-kertas itu di atas piano.
“Kau tidak tahu terima kasih!”,
bentakku kesal. “Aku kan sudah membersihkan apartemenmu, kenapa tidak bilang
terima kasih padaku atau paling tidak memberi aku makanan atau…”
“Aku sudah menampungmu selama dua
hari. Siapa yang kurang berterima kasih?” Matanya menatap lurus wajahku dengan
ekspresi dingin dan tajam.
Aku kalah. Tidak bisa membalas
kata-katanya. Baiklah, aku akan pergi, walaupun aku tidak tahu kemana aku akan
pergi.
Aku berdiri dari sofa.
“Baiklah.”, katanya kemudian. Aku
menoleh padanya yang masih sibuk membaca-baca kertas-kertas musik itu. “Aku
akan memainkan satu lagu untukmu, tapi setelah itu, kau harus pergi ya.”
Senyumku terkembang. Aku berlari
mendekatinya.
Dia melihatku dari atas ke bawah
dengan pandangan menyelidik. “Aku baru sadar, kau belum ganti baju dari hari
pertama kita bertemu.”
Aku melihat ke diriku sendiri. Ah
iya benar. Aku juga baru sadar. Dari kemarin-kemarin aku hanya memakai terusan
putih polos berlengan sedang dengan panjang di bawah lutut.
“Ah, iya. Memangnya kenapa? Kau
mau memberiku baju?”
Dia melengos. “Tidak!”
Aku berdiri di sampingnya. Dia
masih sibuk membalik-balik kertasnya.
“Lagu ini aneh.”, gumamnya.
“Kenapa? Ada apa?”
“Aku tidak ingat pernah membuat
lagu ini, tapi saat tadi aku coba memainkannya sepertinya lagu ini sudah lama
ada di dalam ingatanku.”
“Kau yang membuat lagu ini?”
“Sepertinya. Lihat ini…” Dia
menunjuk tulisan bawah judul lagu “Ada namaku kan? Biasanya aku menuliskan
namaku dan tahun pembuatan di bawah judul lagu yang aku buat.”
Aku mengangguk-angguk mengerti.
“Angel’s Serenade… Jadi lagu ini aku buat sepuluh tahun yang lalu?
Kenapa aku tidak ingat sama sekali? Aku tidak menyangka sepuluh tahun lalu aku
sudah bisa membuat lagu seperti ini.” Dia bergumam lagi.
“Kenapa tidak kau coba mainkan?”,
usulku.
Dia membuka pianonya dan
meletakkan jari-jarinya di atas tuts-tuts piano. Nada-nada itu mengalun menjadi
sebuah melodi yang indah. Aku tersentak. Hatiku terasa sakit. Kepalaku rasanya
berputar. Lagu ini. Melodi ini. Dimana aku pernah mendengarnya?
Aku menutup mataku.
Bayangan-bayangan itu berkelebat dalam memoriku. Semakin lama melodi itu
dimainkan semakin dalam kenangan-kenangan itu muncul dalam pikiranku.
Aku ingat. Aku ingat semuanya.
Kenapa aku bisa terjatuh di sana malam itu, kenapa aku bertemu dengannya, kenapa aku ada
di sini sekarang… Aku mencari lagu ini, mencari melodi ini… Melodi
yang sudah lama tidak aku dengar... melodi yang sudah lama ingin aku dengar… Selain
itu… Aku mencarinya, sang pembuat melodi ini…
“Ayo pulang.” Sosok tinggi besar bercahaya putih itu menggandeng
tanganku.
“Kapan aku bisa bertemu dengannya lagi?”
“Sepuluh tahun lagi.”
“Kalau begitu, sepuluh tahun lagi aku akan menemuinya.”
“Tapi, kalian akan saling melupakan satu sama lain.”
“Kenapa?”
“Karena inilah takdir kalian, kalian berbeda.”
Melodi itu berhenti. Kevin sudah
selesai memainkan lagu itu. Aku jatuh terduduk. Punggungku terasa sakit. Aku
mengerang kesakitan.
“Hey, kau kenapa?” Kevin
menyentuh lenganku.
Punggungku semakin lama semakin
sakit. Aku mengerang semakin keras.
Bertepatan dengan munculnya sepasang sayap putih besar dari punggungku. Tiba-tiba
angin kencang berhembus dan sebuah cahaya putih menembus dari balik jendela.
Kevin terpental jauh dariku. Kertas-kertas partitur musik itu bertebangan dan
jatuh ke lantai.
Cahaya putih itu melingkupiku, tubuhku
terangkat ke udara.
Kevin memandangku dengan
pandangan takjub dan kaget. Sebagian pikirannya terbang menuju hari itu. Kevin
ingat semua. Kenapa dia suka melihat bintang-bintang di langit, kenapa dia
merasa ada seseorang yang selalu dia tunggu, kenapa dia merasa ada seseorang
yang dia lupakan, dan kenapa dia membuat melodi berjudul Angel’s Serenade.
“A-angel…” Kevin tergagap. “Kau…
Angel…” Tangannya mencoba meraihku.
Aku mengulurkan kedua tanganku. Tapi,
sejauh apapun aku mencoba menangkap tangannya, aku tidak bisa mendapatkannya.
Tubuhku melayang menembus jendela, terbang ke luar,
ke udara lepas malam hari.
“Angel…!!”, serunya dari balik
jendela.
Cahaya putih semakin terang
melingkupiku dan aku melayang semakin tinggi.
“Terima kasih, Kevin.” Aku
tersenyum dan memandang wajahnya untuk yang terakhir kalinya.
Cahaya putih terang berpendar
sekejap seperti kilat seiring hilangnya Kevin dari pandanganku.
***
“Kau aneh. Laguku tadi kan
jelek.”, kata anak laki-laki itu saat keluar dari ruang kelas.
“Bagus kok! Terdengar seperti
lagu surga”, sanggah gadis kecil itu.
“Lagu surga? Apa itu?”
Gadis kecil itu mengangkat
bahunya, tanda dia juga tidak mengerti apa maksudnya.
“Kau bilang lagumu itu tadi belum
selesai ya?”
“Iya.”
Gadis kecil itu berhenti di depan
anak laki-laki itu. Anak laki-laki itu menghentikan langkahnya.
“Kalau begitu, kau harus segera
menyelesaikan lagu itu. Kalau sudah selesai, kau harus memainkannya di
hadapanku. Aku harus jadi orang pertama yang mendengarnya ya? Ya? Ya?”
Anak perempuan ini memaksa
sekali, pikir anak laki-laki itu.
“Baiklah…” anak laki-laki itu
berekspresi seperti setengah hati menyetujui usul si gadis kecil, padahal jauh
di dalam hatinya dia merasa senang.
“Kau bukan murid les piano ini
ya? Aku tidak pernah melihatmu.”, tanya anak laki-laki itu saat mereka berjalan
di halaman gedung les piano.
“Aku hanya sedang berjalan-jalan
di daerah sini dan mendengar suara piano.”
Anak laki-laki itu diam-diam
melirik gadis kecil berbaju putih panjang yang berjalan di sebelahnya itu.
Senyumnya terkembang tipis.
“Siapa namamu?”, tanya gadis kecil itu saat
mereka hampir sampai di gerbang gedung les piano.
Anak laki-laki itu menghentikan
langkahnya saat mereka sampai di gerbang dan memandang wajah gadis kecil yang
berdiri di hadapannya.
“ Kevin. Kau?”
“Angel.” Gadis kecil itu
tersenyum manis.
The End
-ultrautogia-
sumpah mak....
ReplyDeleteTOP....KEREN BANGET...!!!!!!!
romantis gimana gtu....
keren deh... :D
tau gak, ini terinspirasi dari lagunya EXO yang judulnya Angel (Into Your World) loh kkkkkkkkkk :p
Delete