Dia menangis lagi.
Tangisan yang sangat kencang. Kepalaku sampai pusing
dibuatnya.
“Jangan nangis dong sayang…cup cup cup... Ayo sini sama
mama.” Wanita cantik itu menggendongnya dengan penuh kesabaran. Dia diam. Tidak
lagi menangis. Aku menghela napas lega.
Dia menangis lagi.
“Kamu itu udah besar! Jangan cengeng!”, teriakku padanya.
Aku muak mendengar dan melihat tangisannya.
“Jangan kasar! Dia tambah nangis itu!” Wanita itu datang
lagi memeluknya. Dia diam. Aku menghela napas lega.
Dia menangis lagi.
“Kamu kenapa? Nangis lagi! Nangis terus!”, bentakku.
“Aku kangen mama.”, katanya singkat. Ya, wanita cantik itu
meninggal 10 tahun lalu, tepatnya saat dia berusia 17 tahun. Tidak ada lagi
yang akan menggendong atau memeluknya. Aku pun tidak tahu harus berbuat apa
kalau dia menangis.
Dia menangis lagi.
“Papa…”, katanya di sela-sela tangisnya. “Ini adalah
tangisan terakhirku. Mulai hari ini papa nggak perlu kesal dengan tangisanku
lagi. Papa juga nggak perlu khawatir atau bingung mencari cara gimana supaya
aku nggak nangis lagi. Aku janji pa, ini terakhir kalinya aku menangis di depan
papa.”
Kami berdua berjalan memasuki altar gereja. Suara piano yang
memainkan lagu pernikahan terdengar menggema di dalam gereja. Di depan altar itu,
aku melihat seorang laki-laki berdiri menunggu kami, laki-laki yang siap untuk
melihat, mendengar, dan menenangkan tangisan anakku.
Aku menangis.
-ultrautogia-
#FF2in1
Dan reaksi pertama saya setelah baca Flash Fiction ini... "Eaaaaaaaa...." xD
ReplyDeletekok bisa Eaaaaaaaaaa? *emangnya kamu penggemar coboy junior?* /out of topic/dilempar ke sungai/ v-_-v
ReplyDeleteYo isolah, Gia -___-"
DeleteHAHAHAAAAA oke oke dit... LOL xD
Deletekeren banget ceritanya, dan gak bertele tele..
ReplyDeleteThank you~~~ ^,^
Delete