Angin berhembus lembut pagi itu, menggoyangkan bunga-bunga warna-warni di padang bunga kota konyol. Pohon-pohon besar dan rindang itu masih berdiri kokoh di sana, di ujung padang bunga, sebuah ayunan tua berdiri sendiri di antara pohon goofy dan pohon silly. Derak ayunan berkarat itu terdengar sayup-sayup seiring angin lembut yang meniupnya. Ayunan tua itu tampak dingin dan kesepian. Daun-daun kering berjatuhan ke atasnya. Dan, dia terlihat semakin terlupakan.
○○○
Gelembung-gelembung sabun beterbangan. Seorang anak kecil meniupnya dari atas bukit ke arah padang bunga. Dia berlari-lari kecil menuruni bukit, mengejar gelembung-gelembung yang ditiupnya. Tertawa kecil dan melompat-lompat kegirangan. Dia melambatkan langkah kakinya.
“Bunganya bagus… Warna-warni kaya gelembungku.” Ucapnya sambil tersenyum.
Dia berjalan pelan di sepanjang padang bunga sambil terus meniup gelembung sabun.
“Ada ayunan!” serunya saat dia hampir mencapai ujung padang bunga, dia berlari-lari ke arah ayunan warna-warni itu. Dia menaiki ayunan itu dan mencoba mengayunnya. Tapi, dia tidak bisa. Ayunan itu terlalu besar dan berat untuknya. Setidaknya ayunan itu harus dinaiki oleh dua orang supaya bisa mengayun dengan baik. Anak perempuan itu terdiam. Dia terduduk sedih dan mulai meniup gelembungnya lagi.
○○○
Matahari sore mulai berkilau kemerahan. Seorang anak kecil berlari-lari kecil di padang bunga sambil memetik beberapa bunga warna-warni itu. Dia membaringkan tubuhnya di atas hamparan bunga dan menciumi bunga-bunga yang dipetiknya. Kupu-kupu ungu beterbangan di atasnya.
“Ah…! Kupu-kupu!!!” Dia menaikkan kepalanya, bangun, dan mengejar kupu-kupu ungu itu. Mencoba menangkapnya tapi kupu-kupu itu terbang semakin tinggi. Dia sampai di ujung padang bunga, kupu-kupu itu terbang semakin tinggi lagi, dan akhirnya meninggalkan padang bunga.
“Yah…kupu-kupunya pergi…” ucapnya sambil terengah-engah. Gelembung-gelembung sabun beterbangan di sekitarnya.
“Gelembung???” ujarnya sambil mencoba menangkap salah satu gelembung. “Kok ada gelembung di sini?”
Dia menyusuri pohon-pohon yang berjajar di ujung padang bunga. Mencari asal gelembung-gelembung yang melayang-layang itu. Langkahnya terhenti saat dia melihat sebuah ayunan warna-warni dan seorang anak kecil seumurannya sedang duduk sendirian sambil meniup gelembung sabun. Mereka bertatapan dalam diam.
“Hai…” sapa Sally, anak perempuan yang berlarian mencari asal gelembung.
“Hai…” jawab Shila, anak perempuan peniup gelembung. Shila tersenyum.
“Boleh aku duduk di sini?” tanya Sally sambil menunjuk bangku ayunan yang masih kosong.
Shila mengangguk. Sally menaiki ayunan dan duduk di depan Shila.
“Nama kamu siapa?” tanya Shila.
“Aku Sally. Kamu siapa?”
“Shila.”
Mereka mulai mencoba mengayun ayunan. Shila tersenyum Hatinya senang karena dia menemukan teman yang mau mengayun ayunan bersamanya. Mereka berayun pelan di atas ayunan warna-warni itu.
Shila meniup gelembungnya. Bulatan-bulatan warna-warni transaparan itu terbang seiring angin yang meniupnya. Sally melihat gelembung-gelembung yang tertiup angin itu. Lalu, dia menatap Shila dan botol gelembungnya dalam diam.
“Kamu mau niup juga?” tanya Shila sambil tersenyum manis.
“Iya! Aku boleh pinjem?”
“Ini.” Shila menyerahkan botol gelembung sabun dan alat peniup gelembung pada Sally.
Sally meniup gelembung dengan semangat. Shila tertawa dan mencoba menangkapnya.
Sesaat ayunan mereka berhenti, lalu mereka mencoba mengayun lagi pelan-pelan. Shila ingin mengayun lebih kencang tapi Sally selalu merasa takut dengan ayunan yang mengayun kencang. Akhirnya, mereka hanya mengayun pelan-pelan. Mereka tersenyum dan tertawa bahagia. Menemukan teman yang mau mengayun ayunan bersama dan berbagi gelembung bersama.
Hari semakin gelap. Sally dan Shila beranjak dari ayunan dan berjanji akan bermain ayunan lagi esok hari. Persahabatan mereka terjalin di atas ayunan warni-warni bersamaan dengan beterbangannya gelembung-gelembung warna-warni di sebuah padang bunga warna-warni.
Waktu demi waktu yang bergerak, hari demi hari yang berlalu, bulan demi bulan yang beranjak, dan tahun demi tahun yang melaju telah memakan usia dan warna-warninya. Ayunan itu masih di sana. Dingin, kesepian dan terlupakan. Tak ada lagi yang datang untuk menemaninya mengayun bersama angin. Menjadi tua dan berkarat. Berayun dan berderak.
○○○
Pagi itu angin lembut masih berhembus seperti kemarin sore. Shila dan Sally berlari-lari di atas bukit sambil meniup gelembung. Kedua gadis itu berlari-lari kecil menuruni bukit menuju padang bunga warna-warni. Padang bunga itu masih sama seperti dulu, hanya terlihat lebih kecil. Bunganya juga sudah agak berkurang. Tapi, pohon-pohon di ujung padang bunga masih terlihat sangat rindang dan kokoh berdiri. Sally dan Shila memandang ke sekeliling padang bunga.
“Shila... inget nggak dulu waktu kecil kita sering maen di padang bunga ini.” kata Sally sambil memetik beberapa bunga.
“Iya. Udah lama banget kita nggak ke sini. Hmm… sejak… sejak… sejak kamu pindah ke sebelah rumahku! Kita jadi nggak pernah maen ke sini lagi. Kita jadi lebih suka maen di halaman belakang rumah…!”
Sally tertawa kecil. “Padahal waktu rumahku masih belum pindah kita sering ketemuan dan maen bareng di sini ya…!”
“Iya. Kita dulu sering maen gelembung, ngejar kupu-kupu, tidur di atas bunga-bunga, metik bunga-bunga, dan maen ayunan di sana.” ujar Shila sambil menunjuk sebuah ayunan tua dan berkarat di antara pohon goofy dan pohon silly.
Mereka saling memandang, tersenyum kecil, lalu cepat-cepat berlari ke ujung padang bunga.
Sally dan Shila terus-terusan tertawa konyol dan bahagia. Mereka sampai di ayunan tua itu.
“Warnanya luntur, udah berkarat, bunyi juga…” ucap Shila pelan. Dia masih menggenggam botol gelembung sabun di tangan kanannya dan peniup gelembung di tangan kirinya. Dia menaiki dan duduk di salah satu bangku ayunan berkarat itu.
“Eh, shil… emang nggak apa-apa? Kalo tau-tau rusak atau jatuh gimana?” tanya Sally agak ketakutan.
“Nggak apa-apa. Udah… naik aja!”
Sally memandang ayunan ragu-ragu. Lalu, menaikinya pelan-pelan. Dia duduk di bangku ayunan di depan Shila. Sally meletakkan botol gelembung dan alat peniup di sampingnya dan mulai berpegangan pada ayunan.
“Nggak apa-apa, Sall… masih bisa ngayun kok.” Ujar Shila sambil mencoba mengayun ayunan.
“Jangan kencang-kencang! Aku takut…” pinta Sally.
“Iya, aku tau!” Shila mengayun ayunan perlahan-lahan. “Kayanya dulu ayunan ini lebih besar dan berat banget buat diayun. Tapi, sekarang menyusut dan jadi ringan ya…”
“Kita yang jadi besar dan lebih kuat…” timpal Sally sambil terus berpegangan pada ayunan.
“Udah, ah! Jangan pegangan gitu terus…!” suruh Shila sambil meniup gelembung sabun ke wajah Sally.
“Ah…! Shila!!!” Sally melepas pegangannya, mengambil botol gelembung dan alat peniup gelembung, lalu meniup gelembung ke wajah Shila.
Mereka tertawa konyol dan bahagia hari itu. Mengenang masa kecil mereka. Mengenang awal pertemuan dan persahabatan mereka. Mengenang masa lalu di atas ayunan tua itu.
“Kita harus sering-sering ke sini. Kalo perlu kita ajak anak-anak kecil di kota konyol buat maen ke sini. Kayanya mereka jarang malah nggak pernah maen ke sini. Padahal, dulu ini tempat maen kita.” ucap Sally penuh semangat.
“Iya! Padahal tempat ini bagus juga buat maen-maen. Walaupun bunga-bunganya udah agak berkurang sich… Ayunannya juga udah berkarat… Tapi tetap aja tempat ini masih indah dan menyenangkan.” tambah Shila.
○○○
Ayunan itu masih di sana. Berayun dan berkarat. Namun, dia tidak lagi sendiri. Tidak lagi dingin dan kesepian. Tak lagi terlupakan. Persahabatan Sally dan Shila menumbuhkan lagi keceriaan, kekonyolan, dan kebahagiaan di padang bunga warna-warni yang telah lama hilang. Lalu, ayunan tua itu kembali berayun konyol dan berderak dengan lebih merdu ditemani gelembung-gelembung yang melayang-layang di udara.
No comments:
Post a Comment