Suara ombak, angin lembut, dan
aroma laut… Aku tidak akan bisa melupakan semua itu… Tapi, yang paling tidak
bisa aku lupakan adalah namamu… Saat namamu tertulis di atas pasir pantai hari
itu.
***
Sunset,
akhirnya sunset datang juga. Aku berjalan di
sepanjang pantai. Ombak-ombak kecil menabrak-nabrak kakiku seakan menyuruhku
untuk segera pulang. Handphone-ku
berdering.
“Kamu dimana?” suara lembut tapi
terdengar panik menyambutku saat aku mengangkatnya.
“Iya, aku pulang sekarang.” Aku
menutup telepon.
Aku memandang sunset yang hanya terjadi selama
sepersekian menit. Aku akan datang lagi besok. Melihat sunset lagi sendirian. Seandainya saja aku bisa melihat sunset ini bersamamu seperti dulu. Apa
kamu masih ingat janji kita dulu? Apa kamu akan datang besok untuk melihat sunset bersamaku?
Aku memakai sandalku lalu
meninggalkan pantai yang sudah mulai gelap.
***
Sudah hampir seminggu aku di sini.
Melihat sunset sendirian setiap hari.
Menunggu kamu yang mungkin sudah lupa pada janji kita. Seminggu yang lalu, aku masih
sibuk mengurus ini itu di kampus. Seminggu yang lalu, aku juga masih sempat
makan-makan merayakan ulang tahun bersama teman-temanku. Seminggu yang lalu,
aku baru menginjak usia 22 tahun. Tapi, seminggu yang lalu pun aku tidak lupa
pada janji kita sepuluh tahun yang lalu. Yah, itu seminggu yang lalu sebelum
telepon di rumah berdering. Lalu, saat aku tersadar aku sudah ada di dalam pesawat
yang terbang menuju ke arahmu.
Aku meletakkan tas-tas dan
koper-koperku di lantai dan merebahkan tubuhku di atas sofa.
Jetlag,
pikirku.
“Cherry!! Jangan taruh tas di
situ! Taruh di kamarmu!” Kakak mengambil tas-tas dan koper-koperku dan
menaruhnya ke dalam kamar.
Ah,
jetlag, pikirku
lagi.
“Cherry!! Jangan tidur di situ!!
Tidur di kamar!!” Kakak menarikku ke dalam kamar dan melemparkan tubuh lemasku
ke atas kasur.
“Dasar kamu ya! Dari dulu nggak
berubah! Masih aja seenaknya sendiri!” Kakak masih mengomel dengan kencangnya
dan aku masih jetlag dengan lancangnya.
Aku masih tidak percaya aku ada
di sini lagi setelah sekian tahun. Kembali ke suatu tempat yang dulu pernah aku
sebut ‘rumah’.
“Udahlah Mei, Cherry kan emang
gitu orangnya…” Sayup-sayup aku mendengar mama mencoba membelaku.
“Ah! Mama selalu manjain dia…”
“Mei… Jangan galak-galak sama
adikmu…” suara nenek juga terdengar membelaku.
“Nenek juga kan… Selalu manjain
Cherry!”
Mataku terasa berat. Suara-suara
ribut itu perlahan-lahan menghilang.
***
“Kak? Apa aku harus dateng ke
pernikahanmu?”
“Apa kamu bilang? Ya harus dateng
dong! Aku ini kakakmu ya! Enak aja kamu nggak dateng!”
“Tapi kakak juga nggak dateng pas
ulang tahunku seminggu yang lalu!”
“Itu kan karena kakak kerja di
sini! Masa kakak harus jauh-jauh naik pesawat dari satu pulau ke pulau lain cuma
buat ngasih ucapan selamat ulang tahun ke kamu?! Lagian kakak udah ngirim
hadiah kan buat kamu!”
Aku mendengus. “Iya, iya. Oke. Fine!”
“Udah! Ayo sekarang ikut kakak!”,
kata kakak sambil menarik tanganku.
“Eh? Kemana kak?”
Aku melihat bayanganku di cermin.
Sebuah gaun one-piece panjang
berwarna pink terlihat pas di
tubuhku.
“Nha itu udah pas, bagus kok”,
kata kakak sesaat kemudian. “Ambil yang ini ya?”
Aku mengangguk dalam diam.
Aku melihat sekeliling ruangan.
Ada banyak gaun di sini. Salah satu yang paling mencolok adalah gaun pernikahan
yang sengaja di-display di tengah
ruangan ini.
“Cher, ayo pulang!”
Aku berlari menghampiri kakak dan
membawakan barang-barang belanjaannya.
Kakak menghela napas. “Hhh… Gaun
pernikahan yang di tengah ruangan tadi bagus ya? Kakak sebenernya pengen beli
yang itu, tapi mahal… Ya udah kakak beli yang lain.”
Aku melihat gurat kekecewaan di
wajahnya. Aku tersenyum tipis.
“Kakak pasti tetep cantik kok
pake gaun pernikahan apapun”, ujarku berusaha menghibur.
Kakak menoleh ke arahku. “Tumben
kamu bisa ngomong sesuatu yang bener.”
Aku meringis.
***
Aku menuliskan namamu di atas
pasir pantai sambil menunggu sunset.
Hai, apa kabar? Apa kamu masih
ingat janji kita? Kapan kamu akan datang?
Sebuah pesan pendek aku tuliskan
di bawah namamu.
Sunset
sudah datang.
Aku menghapus namamu dan pesan itu dengan kakiku. Sunset hari ini terlihat lebih terang daripada hari-hari sebelumnya.
Hari ini sudah tepat seminggu aku di sini. Besok adalah pernikahan kakakku. Apa
kamu akan datang? Apa kita bisa bertemu? Apa kita bisa menepati janji kita
sepuluh tahun yang lalu?
Sunset
berjalan sangat
cepat. Dalam sekejap pantai ini sudah gelap. Namun, aku masih duduk di sini, di
atas pasir pantai yang sama seperti sepuluh tahun yang lalu.
Setiap sore menjelang sunset kita
pasti berlari-lari di sepanjang pantai ini. Pantai yang menjadi halaman
belakang rumah kita. Aku masih terlalu muda untuk memahami apa itu cinta. Bahkan
saat sebelum aku menyadarinya, aku sudah jatuh ke dalamnya.
Kamu yang tinggal di sebelah
rumahku. Kamu yang tidak pernah mau bergaul dengan siapapun di kampung itu
kecuali denganku. Kamu yang suka melihat sunset. Kamu yang sangat suka dengan
pasir pantai dan selalu menuliskan namamu di atasnya. Kamu yang suka
mencipratiku dengan air laut. Kamu yang dulu aku sukai.
Aku tidak pernah tahu bagaimana
perasaanmu padaku. Dan tidak pernah sekalipun aku menanyakan hal itu kepadamu.
Aku hanya tahu kita sangat senang saat kita bermain bersama di pantai, saat
kita menuliskan nama kita di atas pasir, dan saat kita melihat sunset.
Namun, kita tidak pernah bisa
selamanya bermain di pantai. Ada saatnya kita harus kembali ke rumah.
Setidaknya di situlah rumahku sampai sebelum aku tahu bahwa tempat itu bukanlah
rumahku lagi.
Pagi itu, di ruang tamu rumahku,
aku melihat papa, mama, kakek dan nenek berkumpul dengan wajah serius. Aku dan
kakakku yang baru bangun tidur melihat mereka dengan tatapan bingung. Yang aku
ingat hanyalah, papa mendapat promosi kerja dan harus pindah ke kota yang lebih
besar di pulau lain. Mama, kakak dan aku harus ikut, meninggalkan kakek dan
nenek di rumah itu. Saat itu aku tidak mengerti kenapa kita harus meninggalkan
rumah yang nyaman dan pergi ke tempat yang kita sama sekali tidak tahu seperti
apa?
Sore harinya saat aku bertemu
denganmu dan menceritakan semua itu kepadamu, kamu pun hanya terdiam. Aku tidak
tahu apa yang kamu pikirkan saat itu atau perasaan apa yang kamu rasakan saat
itu. Tapi, kamu hanya menulis namamu dan namaku di atas pasir pantai ini.
“Berapa lama kamu perginya?”
“Nggak tau.” Aku mengangkat
bahuku.
“Sepuluh tahun?”
“Nggak tau.” Aku mengangkat
bahuku lagi.
“10 tahun lagi… Kalau kamu belum
balik ke sini… Gimanapun juga kamu harus balik ke sini!”, katamu dengan nada
memaksa.
“Hah?”
“Kita bikin janji ya, sepuluh
tahun lagi kita ketemu lagi di sini pas ulang tahunmu, terus kita liat sunset sama-sama.”
Kamu menuliskan sesuatu di atas
pasir pantai.
Devon. Cherry. 10 tahun lagi.
Ketemu bulan April. Ultah Cherry. Lihat Sunset.
“Eh?
Apaan ini? Kenapa ulang tahunku? Kenapa bukan ulang tahunmu?”
“Ulang tahunku masih lama. Ulang
tahunmu kan lebih cepet”, jawab Devon sekenanya.
Aku tersenyum tipis mengingat
hari itu. Bodoh, pikirku. Dasar anak-anak kecil yang bodoh. Aku terkikik
sendirian. Aku berdiri dan beranjak meninggalkan pantai yang sudah gelap.
***
Aku menggenggam bunga mawar putih
yang ada di tanganku dan berdiri berdampingan dengan sepupu-sepupuku di samping
altar. Konsep garden party yang
diinginkan kakakku terwujud dengan sangat indah. Garden dari sebuah hotel yang letaknya tidak jauh dari rumah ini
disulap menjadi semacam altar pernikahan garden
party yang biasa aku lihat di film-film. Kakak memang selalu sempurna dalam
merencanakan segalanya. Aku tidak akan bisa menandinginya. Aku tersenyum senang
melihat kakak yang berjalan anggun menuju altar sedangkan papa yang berjalan di
samping kakak malah tidak bisa berhenti menangis. Pemandangan yang sangat lucu.
“...Demikianlah mereka bukan lagi
dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh
diceraikan manusia… atas dasar janji saudara berdua tersebut, maka saya
teguhkan pernikahan saudara berdua”, ucap Pak Pendeta di depan altar.
Aku menghela napas lega. Acara
pemberkatan pernikahan sudah selesai. Pesta pernikahan sudah dimulai. Aku
menyelinap meninggalkan pesta pernikahan. Kakiku sudah cukup pegal memakai heels setinggi ini. Aku melepas high-heels-ku dan beranjak meninggalkan
hotel. Tanpa sadar aku sudah sampai di pantai. Yah memang pantai ini letaknya
ada di depan hotel tersebut.
Aku meluruskan kakiku di atas
pasir. Aku lega kakak sudah menikah. Dan aku lega belum ketinggalan sunset hari
ini. Tapi, apa dia akan datang? Apa dia akan melihat sunset bersamaku hari ini?
Apa dia masih ingat janji kita? Apa kita bisa menepati janji kita dulu?
“Ehem.” Tiba-tiba seseorang sudah
berdiri di dekatku. Aku menatapnya dalam diam.
“Nonton sunset sendirian itu
enggak enak”, katanya cuek sambil melipatkan kedua tangan di depan dadanya.
“Devon…? Kamu masih inget?”
Aku berdiri untuk melihatnya
lebih jelas. Aku terlalu senang sampai hampir menangis.
Dia mengangguk dan tersenyum
tipis. “Hm. Masih inget banget.”
Aku memalingkan mukaku. Aku tidak
tahu apakah harus senang atau sedih. Perasaanku terlalu campur aduk, aku tidak
tahu apa yang aku rasakan.
“Kenapa kamu nggak dateng ke sini
pas ulang tahunmu?”
Aku menatap laut. “Kamu tau kan
aku nggak mungkin dateng…”, gumamku pelan.
“Aku tau. Makanya aku harus memaksamu
dateng ke sini…”
Aku menatapnya dengan pandangan
bingung.
“Pernikahan itu… Aku yang
mengusulkan untuk diadakan seminggu setelah ulang tahunmu… Itu… supaya kamu mau
dateng ke sini…”
Aku tidak percaya dengan hal yang
baru saja aku dengar.
“Meskipun telat… Selamat ulang
tahun, Cherry.” Devon mengulurkan tangannya padaku.
Aku menatap matanya dalam diam.
Mata yang sama seperti dulu. Ya, semua tentangnya masih sama seperti dulu. Dia
tidak berubah. Aku menyambut tangannya dan menggenggam tangan itu erat.
“Maaf, aku nggak bisa ngasih
hadiah apa-apa, aku cuma bisa ngasih sunset
itu…” Dia memalingkan kepalanya pada matahari yang terbenam di tengah
laut.
Aku menangis. Inilah pertama
kalinya dalam hidupku melihat sunset yang paling indah sampai membuatku
menangis. Dalam hitungan menit, matahari itu sudah terbenam, sunset itu sudah
ditelan oleh laut. Aku melepaskan genggaman tanganku dan menghapus airmataku.
“Makasih ya.” Aku tersenyum memandangnya
yang juga tersenyum.
Aku berjalan mendekatinya.
“Besok aku pulang. Tolong jaga baik-baik
kakakku ya, kakak ipar.”
Aku menepuk bahunya dan berjalan
meninggalkannya.
Aku tahu jawabannya.
Pertanyaanku waktu itu, memang cuma kamu yang bisa menjawabnya. Akhirnya, aku bisa
melangkahkan kakiku dengan ringan.
***
Dulu, kamu adalah rumah bagiku.
Dulu kamu adalah rumah yang nyaman bagiku. Dulu, kamu adalah rumah bermainku.
Namun, sekarang, aku tahu, aku tidak bisa selalu bermain. Aku tidak selalu
tinggal di rumah yang nyaman. Ada saatnya aku harus berhenti bermain. Dan ada
saatnya aku harus meninggalkan rumah lama yang nyaman itu lalu memulai
kehidupan baru di tempat yang tidak aku tahu seperti apa.
Dan sekarang, bagiku, kamu adalah
matahari terindah yang telah terbenam selamanya pada bulan April.
-ultrautogia-
halo, gak sengaja blogwalking dan tersinggah ke sini :) ceritanya manis, waktunya juga pas untukku karena di tempatku sudah sore.
ReplyDeleteizin tilik blog mu lebih lanjut ya :) dan salam kenal :)
Terima kasih sudah membaca dan sudah komen di blog seadanya ini :)
ReplyDeletewoooowwwww....
ReplyDeletesumpah mak, aku gk tau msti komen apa....
2 jempol buat kamu....
rasanya pas baca tuh, aku trharu tpi lucu gmn gtu...
gimana sih njel? :p
Delete